Program gasifikasi batu bara dan pengembangan biodiesel pemerintah mendapat kritik dari Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Kedua proyek itu, menurut dia, biayanya sangat mahal.
Ahok mengatakan proyek gasifikasi yang mengubah batu bara menjadi dimethyl eter atau DME tidak cocok menggantikan liquefied petroleum gas (LPG) alias elpiji. Pasalnya, investasi proyeknya yang mahal.
Dampaknya, DME membutuhkan subsidi jauh lebih mahal ketimbang impor elpiji. “Substitusinya menarik tapi memerlukan subsidi lebih mahal,” katanya dalam International Oil and Gas Convention 2020, Rabu (2/12).
Lalu, pengembangan biodiesel tak luput dari kritiknya. Ahok menyebut pemerintah harus lebih fleksibel dengan pergerakan minyak sawit mentah atau CPO yang menjadi material utama bahan bakar ramah lingkungan tersebut.
Ketika harga CPO tinggi, sebaiknya opsi ekspor lebih diutamakan ketimbang memaksa melanjutkan program biodiesel. Apalagi harga minyak mentah dunia sedang anjlok saat ini, tapi tidak demikian untuk minyak sawit mentah. "Jadi, tak ada gunanya produksi very high cost biodiesel," kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Kebijakan Energi Pemerintah Dinilai Tak Konsisten
Kritik pedas pada program pemerintah di bidang energi juga pernah terlontar dari beberapa pihak sebelumnya. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri menilai beberapa program pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait di sektor energi tampak tidak konsisten.
Misalnya, pemerintah mendorong program mandatori biodiesel dari kelapa sawit guna mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Di saat yang sama, ada pula program pengembangan empat kilang minyak dan pembangunan dua baru.
Kemudian, ada lagi rencana menggenjot proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl ether (DME) yang mahal biayanya sebagai substitusi elpiji. "Yang saya ingin garis bawahi adalah pemerintah maunya banyak tapi tidak jelas," kata Faisal dalam diskusi secara virtual beberapa waktu lalu.
Ia juga menyorot program mandatori biodiesel yang sebetulnya hanya mengamankan dan menguntungkan segelintir taipan industri sawit. Padahal, secara nilai keekonomian dan lingkungan, program tersebut justru merugikan negara.
Pemerintah pun menyiapkan regulasi untuk mengamankan bisnis sawit. Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) menyebutkan sawit merupakan bahan bakar nabati atau biofuel satu-satunya. "Ini legitimasi untuk memperoleh dana subsidi berkelanjutan," kata dia.
Secara ekonomi, menurut dia, tidak ada kontribusi nyata pengembangan bahan bakar nabati atau BBN itu. Meskipun dapat menekan impor solar, tapi anjloknya harga minyak mentah dunia saat ini membuat harga biodiesel menjadi lebih mahal daripada bahan bakar minyak atau BBM.