AS Akan Keluarkan Standar Emisi Karbon untuk Pesawat Terbang Komersil

123rf
Ilustrasi. Amerika Serikat akan mengeluarkan standar emisi karbon atau gas rumah kaca untuk pesawat terbang.
Penulis: Sorta Tobing
29/12/2020, 16.05 WIB

Amerika Serikat akan mengeluarkan standar emisi karbon atau gas rumah kaca untuk pesawat terbang. Badan Perlindungan Lingkungan atau EPA kemarin mengeluarkan pernyatan bahwa persyaratan baru ini akan berlaku untuk penerbangan komersial dan jet bisnis besar.

Melansir dari Reuters, Selasa (29/12), langkah tersebut selaras pula dengan kesepakatan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2016. Standar emisi yang disepakati terutama menyasar pada produsen utama pesawat saat ini, yaitu Airbus SE dan Boeing Co. 

EPA memprediksi hampir semua pesawat akan terkena dampaknya. Pesawat yang tidak patuh akan dimodifikasi dan disertifikasi ulang sebelum penerapannya berlaku pada 1 Januari 2028. Pada Juli lalu, lembaga itu sempat menyebut standar emisinya akan berlaku untuk pesawat desain baru pada Januari 2020.

Boeing menyatakan dukungannya dengan aturan baru tersebut. “Sangat penting melindungi lingkungan dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan penerbangan komersial dan ekonomi AS,” tulis Boeing dalam pernyataannya kemarin.

 

Selama ini industri aviasi komersil AS menyumbang 3% gas rumah kaca di negara tersebut. Khusus untuk sektor transportasi, kontribusinya mencapai 10%. Standar emisi EPA nantinya tidak berlaku untuk pesawat militer. 

Airbus Kembangkan Pesawat Hidrogen

Pada September lalu, Airbus menargetkan dalam lima tahun ke depan dapat menyelesaikan pengembangan pesawat hidrogen. Pesawat ini nantinya untuk kebutuhan penerbangan komersial. 

Dukungan datang dari pemerintah Prancis, Spanyol, dan Jerman. Ketiganya telah berjanji menjadi negara netral karbon pda 2050. Miliaran euro dalam bentuk subsidi mengalir ke proyek tersebut.

Bloomberg menuliskan, para insinyur Airbus menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari potensi pemakaian baterai untuk menyimpan listrik di pesawat. Namun, energi yang dihasilkan ternyata rendah dan akan terlalu berat untuk penerbangan jarak jauh. “Hidrogen adalah jenis energi yang paling menjanjikan untuk kami,” kata Insinyur Airbus Glenn Llewellyn.

Proyek tersebut harapannya dapat menjadi solusi agar industri aviasi tak lagi mencemari planet. Menurut data BloombergNEF, industri ini menambah 1 miliar metrik ton karbondioksida ke atmosfer pada 2019. Angkanya anjlok pada tahun ini karena terdampak pandemi Covid-19. 

Tak seperti bahan bakar fosil yang mengeluarkan emisi karbon, hidrogen menghasilkan uap air. Sebagian besar sumber energi ini digunakan dalam penyulingan minyak dan manufaktur kimia. Bahan baku utamanya berasal dari gas alam atau batu bara. 

Dengan biaya lebih tinggi, hidrogen dapat mengalirkan arus listrik melalui air. Apabila proses tersebut didukung energi terbarukan, seperti angin dan matahari, bahan bakar yang dihasilkan dapat bebas emisi karbon. Inilah yang Airbus inginkan. 

Masalah utamanya adalah bagaimana menyimpan hidrogen. Kebutuhannya lebih banyak ketimbang bahan bakar minyak untuk menggerakkan pesawat. Keberadaanya tidak dapat disimpan dalam sayap, seperti avtur saat ini.

Kemungkinan besar hidrogen harus disimpan di badan pesawat. Alternatif lainnya, mendesain ekor yang lebih panjang sehingga tanki hidrogen dapat tersimpan di area yang terpisah dari kabin. Airbus juga mempertimbangkan opsi memasukkan gas ke dalam pipi pesawat. 

Tapi desain baru akan menjadi paling sulit karena harus mendapatkan sertifikasi penerbangan lagi. Karena itu, kemungkinan besar Airbus tetap menggunakkan sasis pesawat lawasnya. 

Jika semuanya berjalan lancar, perusahaan mengatakan pesawat hidrogen pertama dapat mulai menerbangkan penumpang pada tahun 2035. “Proyek ini sangat diprioritaskan di dalam Airbus,” kata Llewellyn.