Pemerintah berkomitmen memberikan akses layanan listrik dengan kualitas yang baik dan rendah emisi karbon, dengan harga yang terjangkau. Penerapannya akan tetap memperhatikan prinsip pemerataan, efisiensi, dan dampak lingkungan.
Sekretaris Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Munir Ahmad menyebut sepanjang paruh pertama 2020, pembangkit yang terpasang mencapai 71 gigawatt (GW). Untuk jaringan transmisinya mencapai 61 ribu kilometer sirkuit (kms).
Lalu, kapasitas gardu induknya mencapai 150 mega-Volt Ampere, jaringan distribusi 995 ribu kilometer sirkuit, dan gardu distribusi 61 ribu kilometer sirkuit. “Selama enam tahun terakhir pelayanan listrik terus membaik, seiring naiknya rasio elektrifikasi nasional,” katanya dalam laman resmi Kementerian ESDM, Sabtu (13/1).
Sejak 2014, rasio elektrifikasi naik hampir 15% menjadi 99,20% pada tahun lalu. Pemerintah menargetkan angkanya mencapai 100% di akhir 2024. “Pemanfaatan listriknya terus didorong untuk kegiatan produktif dan memutar roda perekonomian nasional,” ujar Munir.
Berdasarkan hasil hitungannya, Konsumsi listrik per kapita nasional pada 2020 mencapai 1.089 kilo-Watt hour (kWh). Pemanfaatan terbesar untuk sektor industri sebesar 41%, lalu rumah tangga 38%, bisnis 15%, dan sisanya sektor publik.
Untuk mengurangi emisi karbon dan menjaga permintaan-pasokan, pemerintah mendorong pengembangan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT). Termasuk di dalamnya pemanfaatan teknologi rendah emisi, pengalihan bahan bakar rendah karbon, penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB), dan kompor induksi.
Berbagai upaya untuk mengimplementasikan teknologi bersih sedang pemerintah upaya. Pengembangan ini termasuk pemanfaatan hidrogen dan penyimpanan penangkapan karbon (CCS).
Perpres Harga Listrik EBT Tak Kunjung Terbit
Pemerintah hingga kini belum menerbitkan rancangan peraturan presiden (Perpres) yang mengatur harga listrik energi baru terbarukan. Aturan ini awalnya ditargetkan lahir pada pertengahan tahun lalu.
Kementerian ESDM telah menyerahkan draf rancangan tersebut kepada Presiden Joko Widodo. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan rancangan Perpres EBT saat ini masih dalam proses pemberian paraf dari beberapa menteri terkait di bawah koordinasi Kementerian Sekretariat Negara.
Dadan sendiri tak dapat memberikan kepastian Perpres tersebut terbit. "Ya ini masih berproses, saya tidak bisa menargetkan secara pasti," ujar Dadan kepada Katadata.co.id pekan lalu.
Dia berharap Perpres tersebut segera terbit karena ditunggu oleh calon pengembang EBT dan juga PLN yang nantinya sebagai offtaker. Lewat Perpres, kedua pihak mendapat kepastian terkait harga jual beli listrik.
Sebelumnya, Dadan menyebut dalam Rancangan Perpres itu, pemerintah bakal menentukan skema harga listrik EBT berdasarkan tiga kelompok utama. Pertama, feed- in tarif atau harga yang telah ditetapkan untuk pembelian tarif tenaga listrik dengan kapasitas 5 megawatt (MW).
Kedua, opsi harga patokan tertinggi untuk kapasitas listrik besar di atas 5%. Ketiga, harga kesepakatan tenaga listrik berasal dari pembangkit yang menjadi peaker atau pembangkit bersumber bahan bakar nabati (BBN) dan yang belum didefinisikan potensi dan harganya. “Misal, ada pembangkit di laut, belum tahu harganya berapa. Itu business-to-business saja,” kata Dadan.