Asumsi Makro Meleset, DEN Akan Revisi Rencana Umum Energi Nasional

ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Ilustrasi. Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN bakal mengalami revisi.
26/1/2021, 18.12 WIB

Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN yang ditetapkan pada 2017 bakal mengalami revisi. Dewan Energi Nasional alias DEN menganggap acuan itu sudah tidak sesuai karena asumsi makro yang dibuat pemerintah meleset dari target. 

Anggota DEN Satya Widya Yudha menyebut target pertumbuhan ekonomi dalam RUEN saat ini terlalu ambisius. Pemerintah mematoknya di angka 7% hingga 8%.

Sedangkan realisasinya cukup jauh dari patokan tersebut. Apalagi, pandemi Covid-19 muncul dan menekan sektor ekonomi. “Siapa yang mengira ada tabrakan berat di 2020. Pandemi membuat permintaan energi berkurang,” katanya dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2021, Selasa (26/1).

Target bauran energi baru terbarukan atau EBT dalam RUEN juga cukup berat. Angkanya di 23% pada 2025. Saat ini realsiasinya baru 11%. “Menurut saya sangat sulit mengejar 23%,” ujar Satya. 

Ia mengatakan pelaksanaan RUEN 2017 terhalang banyak kendala saat ini. Pemanfaatan energi baru terbarukan di Indonesia sebenarnya menunjukkan arah positif. Misalnya, harga listrik dari pembangkit surya dan angin yang mulai ekonomis. 

Namun, jenis pembangkitnya masih memilih kelemahan. Persoalan utama adalah sifatnya yang intermitten atau sumber energinya tidak ada sepanjang waktu. “Perlu terobosan agar ada substitusi di dalam intermitten,” katanya. 

Ia juga menyorot kebijakan negara Eropa yang mulai menghentikan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU bertenaga batu bara pada 2030. Bagi Indonesia, langkah ini menjadi sangat radikal karena mayoritas pembangkitnya masih PLTU. Karena itu, persiapan menju emisi nol persen sepertinya tidak bisa seperti negara lain.  

Target Emisi Karbon RI

Indonesia sebenarnya telah menandatangani Perjanjian Paris untuk menurunkan emisi karbon. Pemerintah lalu meratifikasinya dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016.

Tetapi di sisi lain, negara ini masih bergantung pada komoditas fosil. Pemerintah bahkan terus berupaya menggenjot target produksi minyak dan gas bumi (migas), kemudian menggenjot produksi batu bara untuk pasar eksporΩ. "Sebenarnya jalur mana yang mau ditempuh Indonesia. Moderat, radikal, atau business as usual," kata dia.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut untuk mencapai status negara tanpa emisi karbon, maka seluruh PLTU harus diganti dengan energi terbarukan di 2030. “Jika kita berkomitmen pada Perjanjian Paris, maka mengeluarkan PLTU adalah keniscayaan," kata dia.

Namun, hal itu tidak akan mudah. Banyak pihak tak akan senang dengan keputusan ini. Lalu, bakal muncul pertanyaan terkait penggantian biaya apabila semua PLTU yang masih ekonomis terpaksa penisun dini.

Pertanyaan lainnya, apakah mengganti PLTU dengan pembangkit energi terbarukan akan lebih ekonomis. “Biaya pembangkitan listrik kemungkinan akan tinggi," ujarnya.

Ia mendorong peran masyarakat dalam upaya mengejar target bauran EBT 23%. Salah satunya melalui penggunaan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS Atap. "

Reporter: Verda Nano Setiawan