Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk menaikkan target bauran energi baru terbarukan atau EBT. Target yang pemerintah tetapkan sekarang dinilai terlalu rendah. Angkanya di 23% pada 2025 dan 31% di 2050.
Siti merekomendasikan agar targetnya naik menjadi 50% di 2050. “Kalau kami lihat, Pak Menteri (Arifin Tasrif), boleh naik lagi di 2050, jadi pada 2070 menjadi net zero emission (bebas emisi),” katanya dalam acara Media Group News Summit 2020, Kamis (28/1).
Sepanjang 2015 hingga 2018, emisi karbon atau gas rumah kaca yang timbul di negara ini paling banyak dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Dari sektor kehutanan, Siti mengklaim, justru menurun.
Ia menyebut kehutanan menjadi sektor penting dalam pencapaian target pengurangan emisi nasional atau nationally determined contribution (NDC). Berdasarkan konvensi perubahan iklim atau Perjanjian Paris 2015, Indonesia memiliki kewajiban menurunkan emisi karbon dari sektor ini sebesar 17,2%. Lalu, energi 11%, limbah 0,32%, pertanian 0,13%, serta industri dan transportasi 0,11%.
Target pada 2030, Indonesia akan menurunkan sekitar 29% emisi gas rumah kaca (GRK) atau setara 2,8 giga ton karbon dioksida (CO2). Per 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah berupaya menurunkan emisi karbon sampai 70%.
Energi Terbarukan Butuh Dana Rp 1.500 Triliun
Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan EBT merupakan sumber energi yang diharapkan dapat menurunkan emisi. Namun, dari target 23%, realisasinya saat ini masih jauh. Angkanya di kisaran 10% pada 2020. Artinya, masih ada 13% lagi untuk dikejar dalam waktu yang sedikit.
Pengembangan energi terbarukan kerap terkendala biaya investasi yang besar. Peran swasta harus menjadi prioritas pemerintah. Dana yang dibutuhkan untuk mengejar target tersebut mencapai Rp 1.500 triliun.
Sedangkan anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN saja sekitar Rp 2 ribu triliun. “Bagaimana bisa terpenuhi sendiri? Peran swasta harus didorong,” katanya.
Dunia sudah mulai ramai melakukan transisi energi bersih. Untuk itu, ia juga mengusulkan supaya target bauran energi pada 2050 dapat mencapai 50%.
Namun, Dewan Energi Nasional malah berencana mengevaluasi target-target bauran energi yang ditetapkan dalam rancangan umum energi nasional atau RUEN 2017. Termasuk dalam revisi ini adalah pemakaian energi baru terbarukan.
Anggota DEN Satya Widya Yudha berpendapat asumsi makro dalam acuan itu terlalu ambisius. Pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi di 7% hingga 8%. Sedangkan realisasinya jauh dari itu.
Apalagi, pandemi Covid-19 muncul dan menekan sektor ekonomi. “Siapa yang mengira ada tabrakan berat di 2020, permintaan energi berkurang,” katanya beberapa waktu yang lalu.
Target bauran energi baru terbarukan atau EBT dalam RUEN juga cukup berat. Saat ini realisasinya baru 11%. “Menurut saya sangat sulit mengejar 23%,” ujar Satya.
DEN bakal mengevaluasi REUN dengan dua pendekatan. Pertama, melakukan penyesuaian terhadap target bauran energi baru terbarukan. Kemudian, menstimulasi berbagai kebijakan untuk mendorong tercapainya target 23%.