Perencanaan yang kurang matang diduga menjadi salah satu penyebab insiden kebocoran gas beracun pada pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) Sorik Marapi, Sumatera Utara, pada pekan lalu. Insiden ini mengakibatkan lima orang tewas dan puluhan warga menjadi korban.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana menyebut hasil investigasi pemerintah menunjukkan jadwal kegiatan buka sumur T-02 di proyek pembangkit berubah-ubah. “Ada kesan memang ini dikejar-kejar waktu,” ujar Dadan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Rabu (3/2).
Ada pula kelalaian operasional dan pelanggaran prosedur yang pengembang, PT Sorik Marapi Geothermal Power (SMGP), lakukan. Peralatan dan instalasi penunjang untuk kegiatan tersebut ternyata belum siap, misalnya seperti alat komunikasi. "Kalau itu (alat komunikasi) ada, kebocoran gas bisa dikomunikasikan lewat kontak radio, kemudian detektornya berbunyi," kata dia.
Kementerian ESDM juga menemukan lemahnya koordinasi antar tim pelaksana kegiatan. Lalu, pelaksanaan sosialisasi kepada masyarakat yang tidak memadai karena berubah-ubah dan kompetensi personil pelaksana kegiatan pun tidak memadai. “Kepala keamanannya tidak paham kalau gas hidrogen sulifda (H2S) itu beracun. Jadi tidak dijelaskan ke masyarakat," ucap Dadan.
Ia menyebut pihaknya akan melakukan audit ulang, khususnya terkait penerapan keselamatan kerja. Untuk memastikan penanganan di lapangan berjalan baik, Kementerian ESDM akan terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat.
Pemerintah juga akan memastikan Sorik Marapi melaksanakan seluruh rekomendasi yang ada. "Kami akan percepat rancangan Peraturan Menteri ESDM terkait keselamatan dan kesehatan kerja serta perlindungan lingkungan panas bumi," ucap Dadan.
Sorik Marapi Klaim Lakukan Sosialisasi
PT Sorik Marapi Geothermal Power mengklaim telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat soal aktivitas pembukaan sumurnya. Chief Technical Officer Sorik Marapi Riza Glorius Pasiki mengatakan proses itu dilakukan dengan cara pemasangan pamflet dan komunikasi verbal ke warga sekitar.
Jadwal pembukaan sumur itu semula pada 24 Januari 2021 pada pukul 12.00 WIB. Perusahaan melakukan sosialisasi pada 22 dan 23 Januari.
Namun, warga meminta aktivitas tersebut diundur sehingga Sorik Marapi menundanya ke pukul 15.00 WIB. Penundaaan terjadi lagi menjadi pukul 17.00 WIB tapi kegiatannya terpaksa berhenti karena perusahaan harus melakukan penyempurnaan sistem.
Rencana operasi buka sumur kemudian mundur lagi menjadi 25 Januari. Dalam rencana ini, Riza mengakui, sosialisasi perusahaan tidak semasif sebelumnya, bahkan hanya melalui kepala desa setempat. “Sosialisasinya pada hari yang sama pukul 09.44 WIB,” ujarnya.
Anggota Komisi VII Mulyanto meminta Kementerian ESDM melakukan investigasi lebih komprehensif. “Saya minta rekomendasinya tajam, termasuk sanksi terhadap perusahaan," ucapnya.
Dari rentetan kejadian, menurut dia, masyarakat sama sekali tidak berada di wilayah aman. Bahkan tidak ada alat pendeteksi gas sama sekali.
Ia pun meminta supaya izin Sorik Marapi dibekukan sampai investigasi komprehensif rampung. "Tidak bisa izin operasinya dibuka kembali begitu saja," ujarnya.
Saptar, seorang perwakilan warga Mandailing Natal, sebelumnya mengatakan masyarakat sekitar masih was-was pasca kebocoran gas di PLTP Sorik Marapi Unit II. Kejadian tersebut tidak pernah ia duga akan terjadi.
Selama ini, menurut dia, perusahaan tidak transparan. Aktivitas pengeborannya juga jauh dari standar prosedur atau SOP. “Pengeborannya kurang 100 meter dari aktivitas warga,” katanya pada Senin lalu.
Perusahaan juga hanya membatasi lokasi pengeboran dengan pagar seng yang berbatasan langsung dengan lahan pertanian warga. “Kiri, kanan, muka, belakang lokasi pengeboran (adalah) tempat masyarakat beraktivitas. Ada sawah, ladang, bahkan pemukiman,” ucap Saptar.