- Sudah ada tiga mitra asing potensial yang tertarik masuk ke bisnis baterai RI.
- Aspek lingkungan menjadi pertimbangan utama para calon investor.
- Pemerintah memprioritaskan investor yang memberikan nilai tambah dalam mengelola sumber daya mineral.
Pencarian mitra untuk bisnis baterai kendaraan listrik di Indonesia masih berlangsung. Terdapat tujuh perusahaan global yang tertarik masuk dalam proyek itu.
Sebanyak tiga perusahaan berasal dari Tiongkok, yaitu Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL), BYD Auto Co Ltd, dan Farasis Energy Inc. Lalu, dua dari Korea Selatan, yaitu LG Chem Ltd dan Samsung SDI. Ada pula perusahaan asal Jepang, Panasonic, serta Amerika Serikat, Tesla, yang tertarik bergabung.
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Proyek Baterai Kendaraan Listrik Agus Tjahjana Wirakusumah menyebut dari ketujuh perusahaan tersebut, ada dua perusahaan yang serius, yakni CATL dan LG Chem. Sedangkan Tesla masih melakukan penjajakan.
Para investor itu sangat memperhatikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola atau ESG. “Karena konsumen mobil listrik didomininasi negara majuyang sangat peduli terhadap lingkungan,” ujar Agus kepada Katadata.co.id, Rabu (17/2).
Konsep ESG itu, menurut dia, baru akan terlihat ketika perusahaan bergabung dengan konsorsium badan usaha milik negara bernama Indonesia Battery Corporation. Holding ini terdiri dari PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) alias MIND ID, PT Pertamina (Persero), PT PLN (Persero), dan PT Aneka Tambang Tbk atau Antam.
Perusahaan gabungan tersebut yang akan menerapkan kaidah ESG, termasuk di pertambangan nikelnya. Produk komoditas tambang ini merupakan bahan baku utama baterai dan Indonesia memiliki cadangan terbesar di dunia. “Itu politik bisnis dunia. Mudah-mudahan nikel tidak seperti kelapa sawit kita,” ucapnya.
Juru Bicara Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Jodi Mahardi mengatakan pemerintah sebenarnya mempunyai aturan praktis untuk investasi di Indonesia. Di dalamnya terdapat ketentuan lingkungan serta standarnya secara regional dan global.
Pemerintah memprioritaskan investor yang mau memberikan nilai tambah dalam mengelola sumber daya mineral. "Kami juga mengharapkan investor dapat mendidik tenaga kerja lokal," kata dia.
Target Pasar Baterai Listrik
Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya berpendapat perusahaan sekelas Tesla akan selektif sekali memilih tujuan investasi. Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan mengutamakan praktik berkelanjutan.
Sedangkan pertambangan Indonesia, menurut Tata, masih destruktif. Pemicunya ada dua. Pertama, paradigma pembangunan yang mengeksploitasi sumber daya alam untuk tujuan ekonomi. “No pain, no gain. Pain-nya kerusakan lingkungan dan sosial bagi masyarakat lokal, gain-nya ekonomi," ujarnya.
Kedua, praktik korupsi para elite politik nasional dan daerah pada bisnis pertambangan. Bisnis tambang menjadi sarana untuk membiayai kegiata politik, seperti pemilihan kepala daerah atau pilkada.
Sebaliknya, pemenang pilkada kerap berbagi konsesi tambang. Tata menyebut kejadian ini terjadi di pusat-pusat pertambangan nikel di Sulawesi Tenggara.
Penerapan standar ESG Indonesia masih buruk dan akan menghambat investasi. “Tidak hanya jauh, tapi bergerak ke arah yang salah,” ucap Tata.
Ia khawatir perusahaan sekelas Tesla malah dapat terjebak dalam isu kerusakan lingkungan, dampak sosial, dan korupsi. Belum lagi paradoks Indonesia yang memproduksi mobil listrik tapi pada saat bersamaan terus bergantung pada batu bara sebagai sumber listriknya. "Pemerintah sebaiknya segera berbenah, dengan komitmen politik dan kebijakan yang jelas juga," katanya.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli mengatakan kegiatan pertambangan secara teknis pasti akan menyebabkan perubahan bentang alam dan efek lingkungan lainnya. Kondisi ini tak terlepas dari eksploitasi sumber daya alam yang berada di dalam perut bumi.
Dampak ini tak bisa dihindari, tapi dapat diminimalisir dengan upaya dan penerapan pratik penambangan yang baik atau good mining practice (GMP). Praktiknya tak hanya berorientasi pada eksploitasi semata, tapi juga pengelolaan lingkungan, keselamatan kerja, peningkatan sumber daya manusia, konservasi mineral, pengembangan dan pemberdayaan masyarakat serta kontribusi kepada pemerintah dan daerah.
Soal lingkungan, setiap pelaku usaha memiliki kewajiban melakukan reklamasi area pasca tambang. Reklamasi bertujuan mengembalikan fungsi lahan seperti sedia kala. Kewajiban lainnya adalah penutupan tambang ketika kegiatan pertambangan telah selesai.
Rizal mengakui, belum semua pelaku usaha melakukan kegiatan pertambangan berdasarkan kaidah GMP. Ada perusahaan yang tidak bertanggung jawab dan membiarkan area bekas tambang terbengkalai. “Kami mendukung apabila pemerintah mengambil tindakan tegas sesuai dengan ketentuan yang berlaku," ujarnya.
Untuk menarik investasi asing seharusnya pemerintah tak sebatas membanggakan soal sumber daya alam Indonesia, seperti nikel dan tembaga. Ketua Umum Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan perlu pula target pasar yang tepat.
Seperti di India. Tesla telah lebih dulu berinvestasi di negara itu pada tahun. Daya tariknya bukan penerapan ESG. Perusahaan justru melihat potensi pasarnya yang sangat besar. “Kelas menengahnya merupakan konsumen prospektif untuk Tesla,” ucapnya.
Di luar hal itu, dari sisi fiskal India pun lebih menarik. Kota Bengaluru, yang menjadi lokasi investasi Tesla, merupakan kota industri besar. Banyak industri otomotif besar lahir dari sana sehingga sesuai untuk mengembangkan riset dan pengembangan (R&D) ke depan.
Jadi, selain good mining practice terus diperbaiki, pemetaan keinginan investor harus dilihat dengan tajam. Artinya, pemerintah perlu lebih dinamis untuk melihat dan menghitung bagaimana negara lain menarik investor.
Pengembangan Bisnis Baterai Pertamina
Pembentukan holding baterai listrik atau Indonesia Battery Corporation (IBC) ditargetkan rampung pada paruh pertama 2021. Nilai investasinya diperkirakan mencapai US$ 17 miliar (sekitar Rp 239 triliun). Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyebut perusahaan induk itu akan menggarap pengembangan baterai kendaraan listrik dari hulu hingga hilir.
Konsorsium tersebut nantinya membentuk perusahaan patungan dengan mitra potensial asing dari berbagai negara di dunia. VP Downstream Research & Technology Innovation Pertamina Andianto Hidayat mengatakan pihaknya bersama PLN, Inalum, dan Antam telah berkolaborasi mengembangkan industri baterai sesuai penugasan pemerintah.
Kolaborasi tersebut juga bertujuan memanfaatkan cadangan nikel yang dimiliki di Indonesia. Pertamina saat ini tengah melakukan penelitian mengenai pengembangan sel bahan bakar atau fuel cell. Misalnya, material katoda, anoda, solid state battery, dan proton-exchange membrane fuel cells (PMEFC) serta solid oxide fuel cell.
Pertamina juga akan mengembangkan battery pack yang dapat digunakan untuk battery energy storage system (BESS) kendaraan bermotor dan rumah tangga. Prototype BESS pertama berkapasitas 172 kilowatt hour (kWh) dioperasikan di Kantor Pertamina Pulogadung, Jakarta.
Pengembangan BESS diarahkan dapat memfasilitasi ekosistem jaringan listrik pintar mikro (smart micro-grid) di Indonesia. "Kami akan mengembangkan multi purpose battery pack untuk kendaraan bermotor dan rumah tangga yang belum teraliri listrik," ucapnya dalam NRE and Energy Storage: The Future of Pertamina - Webinar DRTI Pertamina Seri 2, pagi tadi.
Perusahaan pelat merah ini juga tengah mengembangkan swapping sation dan battery management system (BMS) bekerja sama dengan universitas dan lembaga penelitian. BMS merupakan elemen penting pada sistem baterai agar pemanfaatanya aman, andal, dan efisien.
Manfaat BMS juga dapat digunakan untuk memeriksa kegagalan yang terjadi dan bermanfaat untuk memperpanjang waktu hidup baterai. Sementara, swapping station kegunaanya untuk mempermudah konsumen motor listrik mengisi kendaraannya dengan cepat.
Pemain Utama Bisnis Baterai Global
Laporan BloombergNEF pada September lalu menyebut Tiongkok mendominasi rantai pasokan baterai lithium ion dunia. Permintaan baterai domestiknya pada tahun lalu mencapai 72 gigawatt hour (GWh) dan menguasai 80% pabrik pemurnian (smelter) dunia, 77% kapasitas baterai sel, dan 60% manufakturnya.
Posisi itu jauh melampaui produsen baterai dari Jepang dan Korea Selatan. Kedua negara ini masing-masing menduduki peringkat dua dan tiga. Meskipun posisinya tiga besar, keduanya tidak memiliki pengaruh besar seperti Tiongkok karena tidak menguasai proses pemurnian dan penambangan bahan mentah.
Namun, kekurangan dalam menguasai rantai pasokan itu terkompensasi dengan skor lingkungannya yang lebih tinggi daripada Tiongkok. “Pabrikan Tiongkok, seperti CATL, telah berkembang pesat menjadi yang terdepan di dunia dalam waktu kurang dari to tahun,” kata Kepala Penyimpanan Energi BloombergNEF James Frith.
CATL merupakan produsen utama baterai dunia saat ini. Perusahaan memiliki pabrik di Asia hingga Eropa. Bersama dengan LG Chem, keduanya menyumbang hampir setengah dari 192,9 gigawatt hour (GWh) kendaraan listrik dunia yang dijual pada tahun lalu.
Pada 2023, CATL berencana melipatgandakan kapasitas yang dimilikinya mencapai 263 gigawatt hour. Sementara LG akan mencapai 100 gigawatt hour di 2025. Proyeksi kapasitasnya pada 2028 terlihat pada grafik Databoks berikut.
Eropa dan Amerika Serikat sedang berlomba masuk dalam industri ini tapi akan sulit mengejar Tiongkok. Kepala Logam dan Pertambangan BloombergNEF Sophie Lu mengatakan perhatian utama negara penghasil bahan mentah adalah memanfaatkan sumber daya alam menjadi nilai tambah dan menarik investasi hilir.
Faktor pembedanya adalah jejak lingkungan, ketersediaan listrik yang murah dan bersih, tenaga kerja terampil, dan insentif untuk mendorong permintaan baterai. “Faktor-faktor ini mungkin lebih penting daripada monopoli pada satu logam kritis tertentu,” katanya.