Indonesia bukan tujuan utama investasi energi baru terbarukan atau EBT di Asia Tenggara. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyebut daya tarik investasi negara ini untuk energi bersih masih rendah.
“Dibandingkan Filipina, Vietnam, dan Thailand, kita lebih rendah,” ujar Direktur Sumber Daya Energi, Mineral, dan Pertambangan Bappenas Yahya Rachmana Hidayat dalam Katadata Future Energy Tech and Innovation Forum 2021, Selasa (9/3).
Berdasarkan Indeks Daya Tarik Negara Energi Terbarukan (RECAI) yang dikeluarkan EY pada November tahun lalu, Indonesia tidak termasuk dalam daftar 40 negara yang potensial untuk investasi EBT. Filipina, Vietnam, dan Thailand masuk dalam daftar tersebut. Di posisi puncak adalah Amerika Serikat.
Apabila dilihat dari sisi pertumbuhan investasinya, Indonesia cenderung mengalami penurunan. Dari 4,18% pada 2016 menjadi 3,6% di 2018. “Ini karena regulasinya belum menarik para investor,” kata Yahya.
Tantangan pengembangan energi terbarukan di negara ini juga banyak. Untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS, misalnya, masih membutuhkan banyak pembiayaan. Harga panel surya skala kecil untuk PLTS Atap tak berubah sejak 2016, berkisar Rp 13 jtua hingga Rp 18 juta per kilowatt peak (kWp).
Proses pembiayaan pembangkit itu juga sulit tercapai. Salah satu masalahnya karena skala proyek yang kecil.Untuk mendapatkan pendanaan murah dari lembaga keuangan pun menjadi terbatas. “Fasilitas pendanaan murah untuk pembangunan PLTS Atap belum banyak tersedia,” ujarnya.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya mengatakan kapasitas pembangkit listrik EBT saat ini sekitar 10,3 gigawatt (GW). Hal ini merupakan capaian yang cukup rendah jika dibandingkan dengan total potensinya yang mencapai 417,8 gigawatt.
Energi surya di Indoensia memiliki potensi yang sangat besar hingga mencapai 278 gigawatt. Namun pemanfaatannya baru sebesar 153,8 megawatt (MW).
Ia mendorong agar pemanfaatan energi tersebut dapat lebih besar lagi. "Di 2021, kami targetkan kapasitas PLTS ini menjadi 328,7 megawatt atau dua kali lipat di 2020," ujarnya.
Indonesia saat ini sedang melakukan transisi dari bahan bakar fosil ke energi bersih. Dalam upaya mempercepat proses transisi ini, pemerintah melakukan tiga upaya.
Pertama, substitusi energi primer final, dengan menggunakan teknologi yang sudah ada. Misalnya, penerapan B30, program co-firing pada pembangkit listrik batu bara. Pemerintah juga melakukan konversi energi primer ke EBT. Misalnya, mengganti sejumlah pembangkit berbahan diesel menjadi energi terbarukan.
Berikutnya, penambahan kapasitas energi terbarukan dengan mendorong pemenuhan permintaan. Fokusnya pada PLTS.“Inisiasinya di Nusa Tenggar Timur (NTT) sebagai lumbung energi surya,” kata Chrisnawan. Dan terakhir, pemanfaatan EBT nonlistrik seperti briket dan pengeringan produk pertanian biogas.