Tambal Sulam Rencana Listrik dalam RUPTL 2021-2030

carloscastilla/123rf
Ilustrasi. Dalam draf RUPTL 2021-2030, kapasitas tambahan pembangkit listrik menurun menjadi 40.904 megawatt.
12/3/2021, 15.46 WIB
  • Dalam draf RUPTL 2021-2030 ada penurunan tambahan kapasitas pembangkit dan proyeksi permintaan listrik.
  • Kementerian ESDM menyebut draf tersebut belum final.
  • Target bauran energi diperkirakan tak akan tercapai kalau PLTU masih mendominasi. 

Rencana usaha penyediaan tenaga listrik atau RUPTL periode 2021-2030 hingga kini tak kunjung terbit. Patokan sektor ketenagalistrikan ini seharusnya sudah pemerintah sahkan pada akhir tahun lalu. 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada bulan lalu menyebut revisi sedang PLN lakukan. Berdasarkan draf RUPTL terbaru yang Katadata.co.id terima, susunannya sudah rampung.

Di dalamnya tertulis tambahan kapasitas pembangkit listrik selama satu dekade ke depan bakal terkoreksi. Pada RUPTL 2019-2018 angkanya 56.395 megawatt (MW). Nah, dalam draf RUPTL 2021-2030 turun menjadi 40.904 megawatt. 

Tambahan kapasitas pembangkit terbesar berasal dari energi baru terbarukan (EBT), sebesar 16,1 ribu megawatt. Disusul, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara sebesar 15,9 ribu megawatt. Kemudian, pembangkit gas 7,5 megawatt.  

Terdapat pula rencana pembangkit base, yaitu campuran pembangkit listrik EBT dengan gas. Karakteristik dan nilai keekonomiannya disebut tak kalah saing dengan PLTU. Total rencana kapasitas pembangkit tersebut sampai 2030 adalah 1.110 megawatt atau setara 2,7%. 

Yang turun pula adalah proyeksi permintaan listrik karena pandemi Covid-19. Pada RUPLT sebelumnya, rata-rata pertumbuhannya di 6,4% per tahun. Dalam draf terbaru menjadi 4,9% per tahun.

Angka dalam drat tersebut juga jauh dari angka rata-rata konsumsi listrik dalam rencana umum ketenagalistrikan nasional (RUKN) 2019-2038 yang sebesar 6,9% per tahun. Begitu pula dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-204, yang angkanya di 6,4% per tahun.

Turunnya proyeksi permintaan mengakibat beberapa operasional (commercial operation date/COD) pembangkit perlu penyesuaian. Tidak semua proyek pembangkit yang tertera dalam RPJMN 2020-2024 terakomodasi pada RUPLT 2021-2030. 

Sebanyak 116 proyek pembangkit listrik akan disesuaikan pengembangannya dalam RUPTL 2021-2030 yang banyak menyasar pembangkit listrik dari energi fosil. Dalam draf RUPTL terbaru, ada tambahan 104 proyek pembangkit listrik baru yang didominasi pembangkit energi terbarukan.

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU. (Ajeng Dinar Ulfiana | KATADATA)

Namun, porsi PLTU dalam kelistrikan masih akan mendominasi dalam 10 tahun ke depan. Setidaknya, hingga 2030 penggunaan batu bara dalam bauran listrik mencapai 64%. Sedangkan porsi energi terbarukan sebesar 23%, gas 11,5% dan bahan bakar minyak (BBM) 0,4%.

"Bauran energi dari EBT akan meningkat dari 12,4% pada tahun 2021 menjadi sebesar 23% pada tahun 2025 sesuai target pemerintah," demikian yang tertulis dalam RUPTL 2021-2030.

Kunci pencapaian target bauran energi itu adalah peningkatan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) dan air (PLTA). Keduanya dapat menghasilkan setrum dalam jumlah besar.

Namun, untuk merealisasikannya tidak mudah. Beberapa proyek pembangkit listrik banyak yang mengalami keterlambatan pengembangan. 

Untuk itu, perlu upaya pemerintah dan berbagai pihak untuk mengatasi kendalanya. Apabila rencana pengembangan PLTP dan PLTA tidak sesuai target pada tahun 2025, maka akan sangat sulit mencapai bauran energi 23%.

Direktur Pembinaan Program Ketenagalistrikan Jisman Hutajulu mengatakan draf RUPTL yang beredar tersebut belum final. Artinya, masih akan ada perbaikan dan evaluasi kembali jika diperlukan. "Masih ada yang prinsip. Ditunggu saja," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (12/3). 

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga angin atau PLTB.  (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

RUPTL Tak  Sejalan KEN

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan, pembahasan RUPTL 2021-2030 masih berlangsung. "Kelihatannya masih dibahas intensif antara Kementerian ESDM dengan PLN untuk ditetapkan dalam keputusan Menteri ESDM," ujarnya.

Yang jadi persoalan selama ini, menurut Surya, adalah RUPTL tidak sejalan dengan kebijakan energi nasional (KEN). Bauran energi nasional tidak akan terpenuhi karena target kelistrikan secara nasional juga berbeda dengan patokan KEN.

PLN memiliki alasan mengapa RUPTL tidak sesuai dengan harapan KEN sehingga tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Di sisi lain, rencana tersebut merupakan keputusan Menteri ESDM. “Maka menjadi tanggung jawab Kementerian ESDM,” ujarnya.

Dalam draft RUPTL yang sudah beredar, target energi terbarukan memang berkurang untuk mengantisipasi menurunnya permintaan kelistrikan pasca Covid 19. Namun, Surya menyebut, seharusnya perlu pula diimbangi dengan penurunan pemakaian batu bara secara bertahap alias coal phase-out.

Hal tersebut yang belum muncul dalam draf yang beredar. “Kami tetap mengusulkan konsep coal phase-out, selain upaya mengganti PLTD. Ini harus serentak dalam perencanaan ke depan,” kata Surya. 

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa berpendapat kenaikan penambahan kapasitas pembangkit energi terbarukan dalam draf RUPTL terbaru tidak terlalu signifikan.

Penyebabnya, batu bara masih akan mendominasi pembangkit listrik pada 2030. Dari sini jelas terlihat PLN masih mengandalkan komoditas tambang yang tinggi emisi karbonnya tersebut. 

Padahal, tren global saat ini adalah menuju energi bersih. Indonesia pun sudah berkomitmen dalam Perjanjian Paris 2015 untuk menurunkan emisi karbon hingga 29% dengan usaha sendiri dan 41% bersama bantuan internasional di 2030.

Untuk mencapai target penurunan emisi itu, pemakaian batu bara seharusnya di bawah 55% dan energi terbarukan di atas 35%. “Pemerintah seharusnya mengoreksi hal ini. Apalagi dari sisi pendanaan, pembangunan PLTU akan semakin sulit dan mahal,” ucap Fabby. 

Setelah 2028, biaya listrik dari PLTU akan lebih mahal dibandingkan PLTS plus baterai dan PLTB (angin) plus baterai. Aset pembangkit tenaga uap PLN berpotensi tidak kompetitif dan menjadi aset terbengkalai.

Kondisi kelebihan pasokan listrik saat ini juga menjadi kendala meningkatkan penetrasi energi terbarukan. Karena itu, RUPLT 2021-20230 seharusnya membuka opsi untuk mengistirahatkan PLTU yang telah berusia di atas 20 tahun. Biaya operasi pembangkit tua akan semakin mahal dan memproduksi emisi gas rumah kaca yang banyak. 

Guru besar Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia Profesor Iwa Garniwa berpendapat berbeda. Porsi batu bara masih mendominasi bukan berarti pemerintah dan PLN tak mengedepankan target bauran energi bersih.

Tidak mudah melakukan transisi dari energi fosil ke energi bersih. Perubahannya berkaitan dengan aspek keteknikan, ekonomi, sosial, dan regulasi. "Saya melihat pemerintah dan  PLN lebih realistis, tidak sembarangan melihat permasalah pembangunan energi listrik di Indonesia," ujarnya.

Transisi energi bersih memang harus dilakukan. Namun, pada situasi ekonomi dan pertumbuhan listrik menurun, maka perlu langkah strategis dalam pemenuhan energi listrik. 

Pemerintah juga melakukan upaya pemanfaatan dengan sumber daya yang ada. “Jumlah batu bara kita masih bertahan 40 tahunan apabila tidak ditemukan cadangan baru,” kata Iwa. 

Masa pakai PLTU dapat diperpanjang dengan program co-firing alias memakai campuran bahan bakar lainnya, seperti bahan sampah dan biomassa. “Target (RUPTL 2021-2030), menurut saya, sudah selaras,” ujarnya. 

Ilustrasi pembangkit listrik tenaga panas bumi atau PLTP.  (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)

Investasi Sektor Ketenagalistrikan 

Selain mengatur soal jenis pembangkit, draf RUPTL 2021-2030 juga memproyeksikan kebutuhan investasi proyek ketenagalistrikan. Dalam 10 tahun ke depan, perkiraannya adalah Rp 139,5 triliun per tahun. Untuk investasi swasta sebesar Rp 51,7 triliun per tahun dan PLN Rp 87,8 Triliun per tahun.

Investasi PLN meliputi pembangkit sebesar Rp 37,5 triliun per tahun, transmisi dan gardu induk Rp 22,4 triliun per tahun, distribusi Rp 17,2 triliun per tahun serta kebutuhan lainnya Rp 10,7 triliun per tahun.

Kebutuhan investasi PLN akan dipenuhi dari berbagai sumber pendanaan, yaitu internal, pinjaman, dan penyertaan modal negara (PMN/ekuitas). Sumber dana internal berasal dari laba usaha dan penyusutan aktiva tetap.

Sedangkan pinjaman dapat berupa pinjaman luar negeri (sub-loan agreement alias SLA dan pinjaman langsung), pinjaman pemerintah melalui rekening dana investasi, obligasi nasional maupun internasional, pinjaman komersial perbankan lainnya, serta hibah luar negeri. 

"Penyertaan modal negara dilakukan secara tunai melalui proses penganggaran di APBN atau APBN-P,"  tulis draf RUPTL tersebut.

Reporter: Verda Nano Setiawan