Arcandra Tahar Ungkap Tantangan Produksi Baterai Kendaraan Listrik

Katadata
Arcandra Tahar menyebutkan sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia yang tengah mengembangkan industri baterai kendaraan listrik.
8/4/2021, 15.51 WIB

Pemerintah tengah menggenjot penggunaan kendaraan listrik di Indonesia seiring dengan melimpahnya sumber daya nikel yang merupakan bahan baku penting pembuatan baterai.

Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menyebutkan sejumlah tantangan bagi Indonesia yang tengah mengembangkan industri baterainya. Dia menjelaskan bahwa saat ini sebagian besar pengolahan bijih nikel di Indonesia memproduksi nickel pig iron (NPI) dan ferro nickel (FeNi).

Sementara produk olahan nikel yang bisa digunakan untuk membuat baterai listrik yakni mixed hydroxide precipitate (MHP), mixed sulphide precipitate (MSP), dan nickel matte. Ketiga jenis produk tersebut dapat diolah lebih lanjut untuk menghasilkan NiSO4 dan CoSO4 untuk baterai. 

NPI dan FeNi sejatinnya banyak digunakan sebagai bahan stainless steel. "Best practice mengatakan bahwa NPI dan FeNi bukanlah produk antara yang bisa digunakan untuk baterai," kata Arcandra, Rabu (7/4), melalui akun Instagramnya @arcandra.tahar.

Untuk itu, diperlukan teknologi hydro metallurgy yang sangat canggih dan rumit untuk mengolah bijih nikel menjadi ketiga produk tersebut. Menurut Arcandra, salah satu yang menjadi pilihan sampai hari ini yakni high pressure acid leaching (HPAL).

Namun HPAL sangat jarang ditemukan di dunia. Menurut Arcandra ada beberapa penyebabnya, pertama, butuh investasi sangat besar untuk HPAL. Perbandingannya yaitu belanja modal (capital expenditure/capex) untuk HPAL dapat lima kali lebih mahal daripada rotary kiln-electric furnace (RKEF) per ton nikel yang dihasilkan.

"Kedua, tidak banyak perusahaan yang menguasai teknologi HPAL. Hanya perusahaan besar yang didukung dengan dana R&D besar yang mau fokus untuk mengembangkan teknologi HPAL," kata Arcandra.

Ketiga, teknologi proses yang rumit dan sangat bergantung pada kombinasi antar komposisi bijih nikel dan kimia yang digunakan untuk leaching.

Kesesuaian ini yang menyebabkan desain smelter HPAL menjadi unik dan tidak bisa menggunakan filosofi design one build many, satu desain dapat dipakai untuk banyak smelter. "Dengan kata lain, kesuksesan smelter HPAL di suatu negara belum tentu bisa diaplikasikan ke negara lain," ujarnya.

Keempat, leaching chemical (H2SO4 misalnya) yang digunakan bersifat sangat korosif pada autoclave di tekanan tinggi dan temperature tinggi. Sehingga peralatan yang dipakai harus dari bahan yang anti korosi dan terkadang memerlukan logam khusus yang sangat mahal.

Kelima, limbah dari proses leaching yang tidak ramah lingkungan. Ide untuk menyimpan limbah ini di laut dalam mempunyai tantangan yang tidak mudah untuk direalisasikan.

Menurut Arcandra, dari semua tantangan tersebut, yang paling penting untuk diperhatikan adalah tingkat kesuksesan dari pembangunan smelter HPAL di dunia. Pasalnya, dari data yang ia pelajari, tingkat kesuksesan dari smelter HPAL tidak lebih dari 25%.

"Apakah semua yang dibangun bisa beroperasi sesuai harapan? Apakah rencana capex dan opex tidak melebihi anggaran yang disetujui? Apakah komposisi mineral dari biji nikel sesuai dengan yang direncanakan?," ujarnya.

Meski demikian, teknologi HPAL memiliki keunggulan. Salah satunya yakni dapat menggunakan biji nikel kadar rendah (limonite) sebagai bahan dasarnya.

Sebelum NPI banyak dibutuhkan di Tiongkok, bijih nikel kadar rendah yang berada di lapisan atas banyak dibuang sebagai overburden. Bijih nikel limonite juga kaya akan cobalt (Co) yang dibutuhkan untuk katoda baterai jenis nickel manganese cobalt (NMC).

"Apakah ada teknologi selain HPAL yang mungkin lebih unggul dan dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Secara teori tentu ada," kata Arcandra.

Reporter: Verda Nano Setiawan