Sektor energi dan lahan menjadi penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca di Indonesia. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menyebutkan lebih dari 90% total emisi yang dihasilkan berasal dari kedua sektor tersebut.
Perlu berbagai strategi untuk menyelesaikan persoalan ini dengan menerapkan beberapa skenario untuk kedua sektor tersebut. Suharso menjelaskan untuk mencapai net zero emission di sektor lahan pada 2045 atau 2050, maka Indoensia perlu menambah luasan 300 ribu hingga 500 ribu hektar restorasi mangrove dan lahan gambut.
"Selain itu diperlukan reforestasi lahan terlantar atau jadi hutan sekunder seluas 250 ribu hektare dari yang sedang berjalan," ujarnya dalam webinar, Selasa (20/4).
Selanjutnya, perlu peningkatan efisiensi energi dan bauran energi terbarukan yang sungguh ambisius. Untuk mencapai net zero emission 2045-2070, maka perlu penurunan intensitas energi yang signifikan di kisaran 6%-6,5%. "Sehingga tingkat efisiensi energi rata-rata berada di kisaran 6%, sekarang masih 1%," ujarnya.
Kebijakan efisiensi tersebut juga harus diiringi dengan pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Menurut Suharso sektor EBT harus 100% dari bauran energi primer.
Selain itu, yang tak kalah penting yakni kebijakan fiskal. Salah satunya dengan aturan penghapusan subsidi BBM hingga 100% pada 2030. Kemudian memulai penerapan pajak karbon secara bertahap dan ditingkatkan hingga 30% pada 2030.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya Bakar sebelumnya meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif untuk menaikkan target bauran energi baru terbarukan atau EBT. Target yang pemerintah tetapkan sekarang dinilai terlalu rendah yakni 23% pada 2025 dan 31% di 2050.
Siti merekomendasikan agar targetnya naik menjadi 50% pada 2050. “Kalau kami lihat, Pak Menteri (Arifin Tasrif), boleh naik lagi di 2050, jadi pada 2070 menjadi net zero emission (bebas emisi),” katanya.
Sepanjang 2015 hingga 2018, emisi karbon atau gas rumah kaca yang timbul di negara ini paling banyak dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Dari sektor kehutanan, Siti mengklaim, justru menurun.
Ia menyebut kehutanan menjadi sektor penting dalam pencapaian target pengurangan emisi nasional atau nationally determined contribution (NDC). Berdasarkan konvensi perubahan iklim atau Perjanjian Paris 2015, Indonesia memiliki kewajiban menurunkan emisi karbon dari sektor ini sebesar 17,2%. Lalu, energi 11%, limbah 0,32%, pertanian 0,13%, serta industri dan transportasi 0,11%.
Target pada 2030, Indonesia akan menurunkan sekitar 29% emisi gas rumah kaca (GRK) atau setara 2,8 giga ton karbon dioksida (CO2). Per 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sudah berupaya menurunkan emisi karbon sampai 70%.
Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar, yakni mencapai 417,8 gigawatt (GW). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, potensi tersebut berasal dari arus laut samudera sebesar 17.9 GW, panas bumi 23,9 GW, bioenergi 32,6 GW, angin 60,6 GW, air 75 GW, dan matahari atau surya 207,8 GW. Berikut grafik dalam Databoks: