Revisi Permen PLTS Atap, Pemotongan Tagihan Listrik Didorong Jadi 90%

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021).
28/4/2021, 14.23 WIB

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. Salah satu poin yang direvisi yakni mengenai perhitungan skema pemotongan tagihan listrik pengguna PLTS atap.

Pemanfaatan PLTS atap memungkinkan konsumen PLN untuk mentransfer energi listrik yang dihasilkan oleh PLTS atap kepada PLN melalui skema ekspor-impor. Jumlah energi yang ditransaksikan kepada PLN nantinya dapat menjadi pengurang tagihan listrik konsumen sehingga masyarakat bisa melakukan penghematan listrik.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya mengatakan, guna menarik minat pemanfaatan PLTS atap, maka pemerintah mendorong agar nilai transaksi ekspor energi dari PLTS atap dapat mencapai 90% dari listrik yang dihasilkan. 

"Saat ini kan 65%, akan kita dorong untuk menjadi 75% hingga 90%," ujarnya dalam webinar 'Renewable Energy for Inclusive and Sustainable Developments', Rabu (28/4).

Perbaikan regulasi ini menjadi penting karena sektor industri mulai memanfaatkannya. Misalnya, Coca Cola Amatil Indonesia yang telah membangun panel surya berkapasitas 7,2 megawatt (MW) di pabriknya, Cikarang Barat, Jawa Barat. Perusahaan disebut akan memasang lebih banyak lagi pembangkit serupa apabila regulasi telah diperbaiki.

Berdasarkan survei pasar Institute for Essential Services Reform (IESR), sebanyak 88% hingga 98% konsumen rumah tangga melihat skema pemotongan tagihan sebesar 65% mengurangi daya tarik PLTS atap. Kondisinya dapat berubah apabila nilai transfer menjadi satu banding satu.

Dengan begitu pengembalian investasi dapat lebih cepat, dari awalnya sekitar 10 sampai 11 tahun, menjadi di bawah delapan tahun. Adapun penetapan angka 65% lantaran PLN harus menyediakan sarana dan biaya untuk menstabilkan sistem.

Sifat PLTS adalah intermitten alias sumber energinya tidak tersedia terus-menerus selama 24 jam. Selain itu, dalam menyalurkan listrik, PLN membutuhkan jaringan yang harus dioperasikan dan dipelihara serta pengembalian modal.

Selain itu, revisi ini juga mengatur soal alternatif penggunaan baterai pada PLTS Atap. Kemudian ketentuan yang berlaku bila jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor, maka selisih kelebihannya akan diakumulasikan menjadi 6 bulan yang sebelumnya hanya 3 bulan.

Berikutnya perluasan tidak hanya berlaku bagi pelanggan PLN saja tetapi pelanggan di wilayah usaha non PLN. Kemudian jangka waktu permohonan PLTS dipersingkat serta mekanisme pelayanan diwajibkan berbasis aplikasi.

Adapun pemasangan PLTS Atap ditujukan untuk dapat mengurangi  tagihan listrik PLN. Tak haya itu, pegembangan ini juga ditujukan untuk mendapat listrik yang lebih bersih guna mendukung pemerintah dalam menurunkan emisi karbon atau gas rumah kaca.

"Tiga poin ini yang sedang kita dorong. Insentif yang kita berikan bagi masyarakat yang pasang PLTS Atap maka ada nilai yang bisa dikonversikan untuk pengurangan tagihan listrik," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan