Tantangan Pengembangan Industri Hulu PLTS Kejar Target Bauran Energi

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/aww.
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3/2021).
25/5/2021, 15.42 WIB

Pemerintah diminta untuk mendeklarasikan besaran kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang akan dibangun jika ingin mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) 23% pada 2025 melalui pengembangan sektor hulu PLTS.

Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengatakan pemerintah sebenarnya telah mempunyai peta jalan (roadmap) pengembangan PLTS. Namun, tantangan dalam implementasinya masih cukup besar.

"Untuk industri hulu, tantangan terbesarnya adalah karena pemerintah tidak mendeklarasikan berapa besar kapasitas PLTS yang akan dibangun sehingga tidak ada investor yang mau investasi," kata Paul kepada Katadata.co.id, Selasa (25/5).

Artinya jika pemerintah ingin serius menggenjot pembangunan sektor di hulu PLTS. Maka pemerintah seharusnya menetapkan kapasitas PLTS yang ingin dibangun.

Namun, Paul menilai pemerintah sendiri saat ini malah masih memprioritaskan penggunaan pembangkit listrik energi fosil, terutama batu bara, dibandingkan pembangkit energi terbarukan.

Hal ini terlihat dari sikap PLN yang baru akan fokus membangun pembangkit listrik EBT setelah merampungkan mega proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt (MW). Sekitar 20.000 MW listrik megaproyek ini berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara.

Hal sama juga terjadi di sektor hilir. Isu mengenai tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam industri PLTS juga menjadi tantangan tersendiri. Ketentuan TKDN menyebabkan tarif PLTS lebih tinggi kalau dibandingkan dengan internasional.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menilai Indonesia memerlukan industri PLTS terintegrasi dari hulu ke hilir. Minimal dengan produksi cell dan modul surya. Selain itu industri pendukung modul surya seperti kaca low iron, backend dan EVA.

Investasi di industri bisa terjadi jika ada potensi pasar PLTS dalam jangka panjang. "Yang ekonomis, 500 MW hingga 1 GW per tahun. tugas pemerintah adalah menciptakan pasar itu lewat kebijakan, regulasi dan perencanaan energi, serta program-program pemanfaatan PLTS," kata dia.

Menurut Fabby upaya dan rencana pemerintah dalam mencapai target 23% bauran energi terbarukan adalah salah satu faktor yang bisa menciptakan pasar.

"Dari ini perlu diturunkan ke dalam proyek, misalnya proyek pembangkit PLTS di RUPTL PLN, kemudahan memasang dan tarif net metering yang setara dengan tarif PLN untuk PLTS Atap," ujarnya.

Menurut Fabby roadmap dan action plan pengembangan industri PLTS perlu disusun Kemenperin. Guna merealisasikan hal itu, pemerintah perlu menyiapkan industri serta mencari investor yang ingin menanamkan modalnya di jenis pembangkit ini, serta perlu adanya mitra dalam negeri.

"Mungkin perlu paket insentif. Paket untuk investasi misalnya tax holiday untuk industri pionir khususnya untuk industri polysilicon dan ingot," ujarnya.

Pemerintah telah berkomitmen untuk mendorong pengembangan sektor hulu PLTS. Pasalnya, potensi energi surya Indonesia sebesar 207,8 Gigawatt (GW) dan baru termanfaatkan sebesar 154 Megawatt (MW).

Hal ini menjadi mimpi pemerintah untuk membangun pasar yang menarik bagi investor terutama di sektor hulu. Di samping itu, pengembangan di sektor hulu juga akan memberikan efek pengganda, antara lain untuk industri skala kecil dan partisipasi UKM yang dapat tumbuh besar.

"Kita harus bisa menciptakan market yang cukup signifikan untuk menarik investasi masuk di sektor hulu (panel surya). Kita ada bahan-bahan baku cukup banyak dari hulu," ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif.

Arifin tengah mencoba merancang bagaimana regulasi yang disusun selaras dengan peluang pasar yang akan diciptakan. "Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan Rancangan Peraturan Presiden harus sudah ada target pasar yang bisa menjadi daya tarik industri hulu untuk masuk," kata Arifin.

Meski demikian, menurut dia saat ini masih terdapat isu TKDN dalam industri PLTS atau panel surya. Untuk itu, pemerintah juga akan berusaha memperbaiki regulasi terkait hal ini. "Kita ada masalah TKDN. Pemerintah dukung TKDN, ini sektor yang harus diperbaiki bersama-sama dari pelaku industri PLTS," jelasnya.

Ia mengatakan, dalam membuka peluang di sektor hulu ini diperlukan regulasi-regulasi yang mengikat. Sehingga investor bisa masuk dan Indonesia tidak ketinggalan dari negara-negara lain yang industri tenaga suryanya sudah berkembang.

Reporter: Verda Nano Setiawan