Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar mengatakan Indonesia sulit mencapai target nol emisi karbon di tahun 2050. Alasannya, strategi jangka panjang yang digunakan untuk penurunan emisi karbon di Indonesia ketinggalan dengan negara maju.
Menurutnya sektor energi di Indonesia baru akan mengalami puncak emisi tertinggi pada 2030. Sementara beberapa negara yang menuntut Indonesia mencapai netral karbon pada 2050 telah mencapai puncak emisinya di tahun 1979.
Artinya negara tersebut mempunyai periode dari tahun 1979 hingga 2050 selama 71 tahun. Sedangkan Indonesia perlu kerja keras karena baru mulai mencapai puncak emisinya pada 2030, atau 20 tahun hingga target 2050.
"Kalau internasional meminta kita 2050 sudah zero (emisi karbon) tetapi di Indonesia yang terjadi tidak bisa semudah itu," kata dia dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR, Senin (14/6).
Dia memperkirakan target yang memungkinkan untuk Indonesia mencapai netral karbon pada 2060 atau sama dengan target yang dicanangkan Tiongkok. Dengan pertimbangan beberapa hal, misalnya seperti pengembangan teknologi, pemanfaatan power hidrogen dan pengembangan energi baru lainnya.
Sementara Bappenas telah menyiapkan empat skenario Indonesia mencapai nol emisi karbon. Menurut simulasi Bappenas, jika Indonesia ingin menetapkan target emisi nol bersih pada 2045 atau 2050, maka puncak emisi gas rumah kaca harus terjadi pada 2027.
Jika puncak emisi gas rumah kaca terjadi pada pada tahun 2033 hingga 2034, maka pilihan target nol emisi karbon baru dapat terealisasi antara 2060 dan 2070. Untuk itu, Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa berharap supaya puncak emisi gas rumah kaca tidak bergeser jauh dari 2033 atau 2034. Alasannya, setiap pergeseran setahun dapat menggeser lima hingga 10 tahun pencapaian nol emisi karbon.
Saat ini pemerintah telah menempatkan penurunan emisi gas rumah kaca sebagai sasaran makro pembangunan. Sehingga proses pemulihan ekonomi nasional yang terdampak pandemi Covid-19 dapat mengedepankan ekonomi hijau.