Beberapa pihak menilai sejumlah klausul dalam rancangan undang-undang (RUU) energi baru terbarukan (EBT) yang saat ini tengah digodok DPR tidak adil bagi PLN. Salah satunya adalah aturan yang mirip mekanisme "take or pay".
Mekanisme ini sendiri sudah berlaku dalam penyediaan listrik oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dari produsen listrik swasta (independent power producer/IPP). Mekanisme take or pay mewajibkan PLN menyerap listrik dari pembangkit IPP dengan minimal yang tertera dalam power purchase agreement (PPA).
Dalam aturan tersebut jika PLN tidak dapat menyerap listrik dari IPP, maka perusahaan akan terkena denda. Meski demikian Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menilai tidak ada yang salah dengan skema take or pay.
"Skema ini bisa menjadi opsi sepanjang diatur klausul syarat dan ketentuan dalam kontraknya, sehingga ada sharing risiko yang kemungkinan timbul," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (23/7).
Dadan menolak berkomentar lebih jauh karena pihaknya belum mempunyai draft RUU EBT versi terkini karena pembahasannya masih berlangsung di DPR. "Yang kami dorong adalah menciptakan ekosistem berusaha yang baik sehingga dapat mendorong target bauran EBT," kata dia.
Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut mengatakan jika mekanisme take or pay belum diulas dalam draft RUU EBT. "Seingat saya tidak diulas dalam batang tubuh undang-undangnya. Tapi saya harus periksa lagi," kata dia kepada Katadata.co.id, Jumat (23/7).
Simak potensi EBT Indonesia pada databoks berikut:
Direktur Eksekutif Indonesian Resource Studies (IRESS) Marwan Batubara sebelumnya mengatakan bahwa skema take or pay menimpakan risiko usaha kelistrikan kepada negara. Dalam mekanisme itu, negara melalui PLN harus membayar penyedia listrik swasta (IPP) sesuai kontrak meski dayanya tidak terpakai.
“Investor itu menjadi seolah-olah tidak ikut menanggung potensi kerugian. Padahal dalam bisnis ada untung ada rugi,” kata dia, dalam keterangan tertulis Senin (19/7).
Menurutnya mekanisme take or pay memastikan keuntungan bagi IPP atau investor. Sementara bagi negara dan PLN, untung atau rugi harus ditanggung. Oleh karena itu, mekanisme tersebut tidak bisa diterima.
“Kalau PLN bermasalah bisa bangkrut, dikuasai asing atau swasta. Bagi pelanggan itu bisa listrik bisa mahal, kalau pun PLN tidak bangkrut maka PLN harus menaikkan biaya pokok tarif,” ujarnya.
Dia pun menyayangkan mekanisme tersebut sudah berjalan dalam penyediaan listrik oleh PLTU dari IPP. Adapun dalam rancangan undang-undang energi baru terbarukan (EBT) yang tengah dibahas di DPR, kata Marwan, mekanisme serupa juga akan diterapkan.
Dalam RUU itu ditetapkan, PLN wajib membeli berapapun daya yang disediakan IPP EBT swasta. Kewajiban itu tidak memandang apakah PLN butuh atau tidak.
Marwan mengingatkan, bahwa saat ini PLN sedang kelebihan daya. Dampak berat take or pay paling terasa sejak 2019. Konsumsi listrik turun, sementara biaya yang harus dibayar tetap. Pandemi membuat konsumsi semakin turun. Sekarang cadangan daya sudah di atas 35% dari idealnya 30%.