Greenpeace Nilai Upaya Pemerintah Tekan Emisi Masih Setengah Hati

123rf.com/Aleksandr Papichev
Ilustrasi karbon, CO2
29/7/2021, 07.27 WIB

Greenpeace Indonesia memandang pemerintah masih setengah hati membahas upaya transisi energi di Tanah Air. Hal itu tercermin dari kerapnya pemerintah mengulangi kebijakan, seperti penggunaan teknologi dalam menekan emisi batu bara

Regional Climate and Energy Campaign Coordinator Greenpeace Indonesia Tata Mustasya menilai pemerintah  lagi-lagi mengulangi kebijakan setengah hati dan kontradiksi. Hal itu sering dilakukan pemerintah ketika membicarakan transisi energi.

Tata menyebutkan, penggunaan teknologi tidak akan mengurangi emisi dari batu bara secara signifikan. Menurut dia pengurangannya sangat kecil sekali dan membutuhkan biaya yang cukup mahal.

Oleh karena itu, Greenpeace mendesak pemerintah agar melakukan transisi langsung ke energi bersih dan terbarukan. Misalnya, seperti energi surya yang memiliki potensi cukup besar di Indonesia.

Apalagi berdasarkan perhitungan konservatif Kementerian ESDM potensinya sekitar 200 GW dan baru dimanfaatkan sekitar 0,112 GW. Menurut Tata, menunda transisi dengan bermain retorika mengenai batu bara akan membuat Indonesia semakin tertinggal dari negara-negara Asia Tenggara dan berpotensi gagal mengatasi krisis iklim.

"Menunda transisi energi, berarti kita gagal lepas dari resource curse (kutukan sumber daya) batu bara," katanya kepada Katadata.co.id, Rabu (28/7).

Selain itu, dia menilai sumber daya alam yang melimpah juga bisa menyebabkan Indonesia gagal mewujudkan transisi dan ketahanan energi. Pada akhirnya ini akan mengancam ekonomi dan masa depan Indonesia, serta kerusakan lingkungan.

"Seperti halnya pengalaman Indonesia dengan minyak bumi, batu bara juga akan habis," ujarnya.

Indonesia sendiri berkomitmen di 2025 tidak akan membangun PLTU batu bara baru. Di sisi lain hingga 2025 Indonesia akan menambah 28 GW PLTU batu bara baru jika semua PLTU batu bara baru dilanjutkan.

Skenario best renewable energy hasil kajian Greenpeace di 2020 menunjukkan upaya Indonesia belum  cukup mencegah krisis iklim atau kenaikan suhu di atas 1,5 derajat di 2030. Sekalipun Indonesia mulai melakukan moratorium batu bara tahun ini, kemungkinan baru baru bisa menekan risiko tersebut pada 2050.

Pemerintah menargetkan net zero emissions nasional atau nol emisi gas rumah kaca pada 2060. Sektor batu bara yang menghasilkan emisi dengan jumlah besar tak luput kena imbas.

Di samping itu, pemerintah telah menyiapkan berbagai strategi untuk mempensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) lebih cepat. Padahal, Indonesia masih memiliki cadangan batu bara sebesar 38,84 miliar ton.

Oleh sebab itu, Kementerian ESDM tengah mencari terobosan dan teknologi baru untuk menurunkan tingkat emisi dari konsumsi batu bara. Mengingat sektor ini masih menjadi andalan Tanah Air.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, selain cadangan batu bara, masih ada juga sumber daya batu bara yang tercatat sebesar 143,7 miliar ton.

"Batu bara kita masih banyak. Kita punya 65 tahun umur cadangan. Sebagian besar ada di Kalimantan dan Sumatera," kata Ridwan dikutip melalui laman resmi Kementerian ESDM, Selasa (27/7).

Pemerintah tengah mencari terobosan dan teknologi baru untuk menurunkan tingkat emisi dari konsumsi batu bara. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca atau karbon dari sektor energi.

Ke depan diharapkan pemerintah dapat mengoptimalkan pemanfaatan batu bara di Indonesia. Salah satunya yaitu teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS). "Kami selalu berusaha menggunakan teknologi batu bara dengan cara yang lebih bersih," kata Ridwan. 

Ridwan menyampaikan dari total 1.262 giga ton emisi CO2 yang dihasilkan di Indonesia, 35% berasal dari pembangkit listrik batu bara. Adapun dua tantangan yang saat ini tengah dihadapi industri yaitu penguasaan teknologi dan menciptakan skala keekonomian.

Teknologi CCUS diyakini akan mengurangi emisi CO2 akibat pembakaran batubara. "Berdasarkan studi PLN dan World Bank tahun 2015, CCUS secara teknis layak untuk dikembangkan di Indonesia," ujar Ridwan.

Reporter: Verda Nano Setiawan