Kementerian ESDM mengklaim bahwa pengembangan PLTS atap secara masif, dengan kapasitas total 3,6 gigawatt (GW) yang tengah direncanakan pemerintah, dapat menurunkan konsumsi batu bara nasional hingga 3 juta ton per tahun ketika mulai beroperasi.
Direktur Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menyebut berdasarkan kajian, rencana pemerintah mengembangkan PLTS atap akan berdampak langsung terhadap konsumsi batu bara yang masih mendominasi bauran energi pembangkit listrik.
"Konsumsi batu bara akan berkurang 2,98 juta ton per tahun dan bisa menjadi tambahan untuk ekspor," kata Dadan kepada Katadata.co.id, Senin (16/8).
Meski begitu, ia tak menampik pengembangan PLTS atap dengan kapasitas tersebut juga akan berdampak bagi pendapatan PLN. Setidaknya ada potensi penurunan pendapatan hingga Rp 5,7 triliun per tahun.
Meski demikian pada akhirnya PLN dan pemerintah akan diuntungkan dengan turunnya biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebesar Rp 12,61/kWh yang dapat mengurangi subsidi dan kompensasi listrik hingga sebesar Rp 3,6 triliun.
Selain itu pengembangan PLTS atap akan mendatangkan potensi investasi Rp 45-63 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04-4,08 triliun untuk pengadaan kWh ekspor-impor.
"Pembangunan PLTS atap berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja. Mendorong green product sektor jasa dan industri, dan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 5,4 juta ton setara CO2," katanya.
Adapun dari pengamatan Kementerian ESDM, energi listrik yang diekspor ke PLN oleh pelanggan PLTS atap rumah tangga sebesar 24-26% dan industri 5-10% dari jumlah energi yang diproduksi pembangkit listrik ramah lingkungan tersebut.
Pengembangan PLTS atap merupakan salah satu proyek besar pemerintah untuk mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Pasalnya untuk mencapai target tersebut Indonesia masih kekurangan kapasitas pembangkit listrik EBT sebesar 38 GW.
Guna merealisasikan target tersebut, pengembangan PLTS akan menjadi andalan. Selain PLTS atap 3,6 GW, dua proyek PLTS yang menjadi andalan lainnya yaitu pengembangan PLTS skala besar berkapasitas 5,34 GW, dan yang terbesar, proyek PLTS terapung di 375 lokasi dengan total kapasitas 28,20 GW.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa pemilihan PLTS sebagai prioritas utama dalam pengembangan pembangkit EBT secara masif karena harga listrik dari PLTS yang semakin murah dan bersaing dengan pembangkit lainnya.
"Untuk mencapai target tersebut pemerintah memprioritaskan pengembangan pembangkit surya karena biayanya makin kompetitif dan lebih murah dan waktu pelaksanaannya lebih cepat, kita memiliki sumber yang banyak," ujarnya dalam diskusi secara virtual, Selasa (10/8).
Urgensi Percepatan Transisi Energi Dipertanyakan
Guru Besar Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Iwa Garniwa, mempertanyakan urgensi pemerintah mempercepat adopsi pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) untuk meningkatkan baurannya menjadi 23% pada 2025.
Apalagi saat ini ada rencana untuk merevisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Isi dari Permen ESDM yang sedang diharmonisasi tersebut menyebutkan bahwa tarif ekspor-impor PLTS atap akan dinaikkan menjadi 100% dari sebelumnya yang hanya 65%. Menurut Iwa, ini berarti PLN harus membeli 100% listrik PLTS atap.
Iwa mengingatkan tujuan dari energi untuk masyarakat adalah mendapatkan akses dan harga yang terjangkau. Sedangkan dari sisi PLN, listrik harus beroperasi dengan handal, berkualitas baik, dan ekonomis.
"Kita selalu membandingkan dengan negara, ini bukan pertandingan. Sekarang kita masuk green energy yang ndilalah mahal," katanya dalam keterangan tertulis.
Iwa mengungkapkan bahwa berdasarkan statistik, Indonesia hanya menyumbang emisi karbon dunia 1,8%. Ini artinya Indonesia bukan negara yang bertanggung jawab mengotori langit dunia. Melainkan Amerika Serikat (AS) yang menyumbang hingga 14,5% emisi karbon, kemudian Jepang 3,3%, dan Tiongkok 2,8%.
Selain itu, 68% pembangkit listrik di Indonesia masih menggunakan bahan bakar batu bara yang harga jual listriknya termurah. "Dari dua fakta ini Indonesia tidak boleh terburu-buru dan terlalu masif melakukan transisi energi," kata dia.
Lalu muncul ide PLTS atap yang murah dan didorong untuk secara masif perkembangannya. Padahal PLTS atap bersifat intermittent atau tidak bisa berdiri sendiri. Menurut dia pengembangan PLTS atap akan mengancam sistem kelistrikan.
Menurut Iwa, sumber energi dari EBT yang memikul beban kelistrikan di sistem PLN bervariasi, mulai dari PLTA, PLTP, hingga biomassa. Dari sisi itu bauran energi nasional harus kuat.
"Saya melihatnya kita itu kebiasaan ingin gampang tidak smart. Paling gampang kan beli PV. Jika tiba-tiba awan lewat lalu pasokan ke sistem turun, siapa yang akan memikul itu," ungkap dia.
Iwa menambahkan, pengembangan PLTS atap secara masif tidak boleh sampai melupakan keberadaan PLN sebagai aset negara yang harus dijaga. Saat PV memakai pemikulnya PLN, maka akan ada batasan, baik batasan menyangkut keandalan maupun batasan dari sisi harga.
Di Indonesia ada 22 sistem, masing-masing sistem harus ada dibuat grid operasi. Oleh karena itu harus dihitung berapa persen yang intermiten masuk dalam sistem agar memenuhi operasi yang handal, kualitas bagus dan mutu baik.
Menurut dia, pengembangan PLTS atap secara masif tak banyak berdampak pada biaya pokok produksi PLN. Ia pun membayangkan jika di suatu komplek perumahan, 50% menggunakan rooftop tanpa baterai, sementara PLN untuk menaruh gardu distribusi menghitung BPP.
“Berapa investasinya dan berapa harapan KWh yang dijual? Lalu 50% tadi memakai PLTS rooftop, energinya diambil. BPP-nya kan mahal, lebih parah dipaksa beli,” kata Iwa.