Emisi Karbon Kelistrikan Dunia Sudah Lampaui Level Sebelum Pandemi

123rf.com/Aleksandr Papichev
Ilustrasi emisi karbondioksida atau CO2.
Penulis: Happy Fajrian
26/8/2021, 13.17 WIB

Sebuah laporan dari lembaga think-tank lingkungan, Ember, menyebutkan bahwa tingkat emisi karbondioksida (CO2) dari sektor kelistrikan global pada semester I tahun ini telah melampaui level sebelum pandemi Covid-19.

Tingkat emisi karbon tersebut sejalan dengan melonjaknya permintaan listrik global menjadi 5% lebih tinggi dari level sebelum pandemi. Hal ini seiring mulai berjalannya kembali perekonomian di seluruh dunia setelah berakhirnya penguncian wilayah atau lockdown.

“Merebaknya Covid-19 di seluruh dunia memicu lockdown yang membuat permintaan listrik turun signifikan, yang diikuti turunnya tingkat emisi gas rumah kaca,” tulis laporan lembaga think-tank yang berbasis di London, Inggris, tersebut, dilansir CNBC.com, Kamis (26/8).

Laporan itu juga menyebutkan bahwa pertumbuhan permintaan listrik lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan energi baru terbarukan (EBT).

Ini sekaligus menjadi sinyal bahwa dunia gagal mencapai komitmen “pemulihan hijau” melalui transisi dari bahan bakar fosil menuju EBT, untuk menghindari konsekuensi terburuk dari perubahan iklim.

Dalam laporan itu disebutkan bahwa 61% listrik dunia pada 2020 masih dihasilkan dari pembangkit listrik bahan bakar fosil. Setidaknya 75% pasokan listrik di lima negara G-20 masih bersumber dari energi fosil, yakni Arab Saudi 100%, Afrika Selatan 89%, Indonesia 83%, serta Meksiko dan Australia 75%.

Listrik dari pembangkit batu bara turun 4% sepanjang 2020, namun masih menyuplai setidaknya 43% tambahan permintaan listrik pada 2019 dan 2020. Kawasan Asia saat ini menghasilkan 77% listrik dari pembangkit batu bara, dengan Tiongkok memiliki porsi tertinggi yakni 53%, naik dari 44% pada 2015.

Laporan ini pun memperingatkan bahwa transisi keluar dari energi batu bara, yang menyumbang sekitar 30% emisi gas rumah kaca global, berlangsung terlalu lambat. Bahkan Badan Energi Internasional (IEA) memprediksi pembangkitan batu bara tahun ini akan rebound, seiring naiknya permintaan listrik.

“Progresnya sangat lambat. Meskipun permintaan batu bara turun ke level terendah selama pandemi, itu masih kurang dari yang dibutuhkan untuk menghindari dampak perubahan iklim,” kata ketua analis Ember, Dave Jones.

Dia menambahkan, penggunaan energi batu bara harus turun setidaknya 80% pada akhir dekade ini untuk menghindari naiknya temperatur global lebih dari 1,5 derajat Celsius yang dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup manusia.

“Kita harus membangun listrik bersih secara simultan untuk menggantikan batu bara dan melistriki perekonomian global. Pemimpin dunia harus bangun dari tidurnya untuk menghadapi tantangan besar ini,” ujarnya.

Temuan ini muncul menjelang konferensi iklim utama PBB di Glasgow, Skotlandia, pada November mendatang. Para negosiator akan mendorong aksi iklim yang lebih ambisius dan janji pengurangan emisi dari negara-negara peserta.

Tanpa pengurangan emisi global yang cepat dan berskala besar, para ilmuwan dari Intergovernmental Panel on Climate Change memperingatkan bahwa suhu rata-rata global kemungkinan akan melewati ambang batas 1,5 derajat Celcius dalam waktu 20 tahun.

Studi ini juga menyoroti beberapa capaian positif. Pembangkit listrik tenaga angin dan matahari, misalnya, naik 15% pada 2020, menghasilkan hampir sepersepuluh listrik dunia dan menggandakan produksi sejak 2015.

Beberapa negara sekarang mendapatkan sekitar 10% listrik mereka dari angin dan matahari, termasuk India, Tiongkok, Jepang, Brasil. AS dan Eropa telah mengalami pertumbuhan listrik tenaga angin dan matahari terbesar, dengan Jerman sebesar 33% dan Inggris 29%.