Bauran Energi Fosil Saat Nol Emisi Karbon RI Tercapai Diprediksi 10%

Katadata
Ilustrasi kilang minyak.
27/9/2021, 14.39 WIB

Total konsumsi energi pada saat Indonesia berhasil mencapai target net zero emissions atau nol emisi karbon diperkirakan mencapai satu miliar ton setara minyak bumi (BTOE). Dari jumlah tersebut 10% di antaranya berasal dari energi fosil atau sekitar 100 juta ton setara minyak bumi (MTOE).

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengatakan komposisi bauran energi pada saat target nol emisi karbon tercapai akan didominasi energi baru terbarukan (EBT) hingga 90%. Pada saat target itu tercapai, permintaan dari energi fosil diperkirakan masih mencapai 100 MTOE.

"Dengan catatan target “Net Sink” karbon dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan pada 2030 terealisasi. Setelah 2030 ini akan jadi penyerap, saya asumsikan kalau kita sediakan 15-20 juta hektare kita masih bisa gunakan 100 MTOE untuk berbagai keperluan, sisanya energi bersih," kata dia dalam diskusi secara virtual Senin (27/9).

Menurut dia dengan skenario target nol emisi karbon di Indonesia pada 2060, konsumsi energi fosil diperkirakan masih akan meningkat hingga mencapai 299 MTOE pada 2040-2045. Atau sekitar satu setengah kali konsumsi pada 2020.

Sementara dengan skenario nol emisi karbon pada 2070, konsumsi energi fosil diperkirakan masih akan meningkat hampir dua kali lipat dari 198 MTOE pada 2020, menjadi 368 MTOE pada 2050.

"Kita sekarang gunakan energi total 200 MTOE dan kira kira 90% fosil. Jadi dari keadaan sekarang yang 198 MTOE fosil nanti pas net zero emissions tinggal 100 MTOE saja," katanya. Simak target bauran energi Indonesia pada databoks berikut:

Adapun kapasitas pembangkit batu bara milik PLN saat ini yaitu mencapai 32 gigawatt (GW) atau 50% dari total kapasitas. Dalam 10 tahun kedepan ia memprediksi akan ada tambahan 14 GW, sehingga total menjadi 46 GW.

Dengan deklarasi moratorium PLTU batu bara baru, setelah 2030 kapasitas produksi PLTU batu bara yang sebesar 46 GW akan menghasilkan 350 terawatt hour (TWh). Jumlah tersebut membutuhkan konsumsi batu bara sekitar 175 juta ton atau 90 MTOE per tahun. "Inilah peran batu bara dalam negeri masih ada saya kira sampai peak," katanya.

Sementara, untuk memenuhi intermitensi dari pembangkit listrik tenaga surya, maka diperlukan dukungan dari pembangkit lain. Misalnya bisa dari nuklir, hidrogen atau syngas.

Pasalnya, jika hanya mengandalkan PLTS saja cukup berat. Menurut Herman jika penyedian PLTS PLTU dan pembangkit lain tidak mencukupi maka ada kemungkinan kebutuhan untuk PLTU batu bara akan muncul kembali.

"Seperti yang di Inggris baru-baru ini terjadi karena gas mahal, PLTU batu bara nya Inggris belum dimatikan. kemairn dihidupkan lagi karena gas mahal. Kira kira Indonesia juga akan seperti itu," katanya.

Reporter: Verda Nano Setiawan