ESDM: PLTU dalam RUPTL Baru Bagian dari Proyek 35 Ribu MW Berkontrak

Katadata/Ratri Kartika
PLTU Muara Laboh.
Penulis: Happy Fajrian
21/10/2021, 16.38 WIB

Kementerian ESDM menegaskan tidak lagi menerima usulan proyek baru pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara. Sebab, arah kebijakan energi nasional ke depan bertumpu pada energi baru terbarukan (EBT) dan ekonomi hijau.

Adapun proyek pembangunan PLTU dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listik (RUPTL) 2021-2030 PLN adalah proyek yang sebelumnya telah menandatangani kontrak program 35.000 megawatt (MW) atau proyek yang telah memasuki tahap konstruksi.

“Kami tidak lagi menerima usulan PLTU batu bara yang baru. Jadi, (proyek) yang ada di RUPTL sekarang adalah on going project," kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rida Mulyana dalam diskusi Tempo Energy Day 2021, Kamis (21/10).

Dokumen peta jalan yang baru saja disahkan pada 28 September lalu tersebut memproyeksikan porsi kapasitas pembangkit energi fosil dalam 10 tahun ke depan hanya 48,4% atau sebesar 19,6 gigawatt (GW). Sedangkan kapasitas pembangkit EBT porsinya mencapai 51,6% atau 20,9 GW.

Dalam percepatan penambahan pembangkit sebesar 40,6 GW selama satu dekade ke depan, pemerintah akan membuka peran perusahaan listrik swasta atau Independent Power Producer (IPP) untuk pengembangan pembangkit berbasis EBT.

Rida menyampaikan bahwa pemerintah sedang menyusun rencana pensiun dini atau early retirement dari PLTU batu bara yang kini ada di Indonesia. Selain menutup usulan proyek baru pembangunan PLTU, PLTU yang ada juga diharuskan menggunakan biomassa sebagai campuran bahan bakar atau co-firing, hingga masa pensiun dini.

“Setelah 2030 tidak akan ada lagi pembangunan pembangkit yang berbasis fosil, tapi semuanya berbasis energi baru terbarukan,” ujar Rida.

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen sampai 41 persen pada 2030 mendatang.

Dari target tersebut sektor energi diharapkan dapat berkontribusi menurunkan emisi sebesar 314 juta ton sampai 398 juta ton karbon dioksida melalui pengembangan energi terbarukan, pelaksanaan efisiensi energi, dan konservasi energi, serta melakukan penerapan teknologi energi bersih.

Meski pemerintah mengklaim RUPTL 2021-2030 sebagai yang paling hijau, Greenpeace Indonesia menganggap porsi PLTU masih cukup besar, mencapai 13,8 GW atau sekitar 70% dari total porsi pembangkit energi fosil sebesar 19,6 GW.

Peneliti Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mengatakan bahwa dengan tambahan kapasitas PLTU sebesar itu, Indonesia akan berhadapan dengan emisi karbon yang dihasilkan selama lebih dari 30 tahun ke depan.

“Keputusan pemerintah untuk bangun PLTU baru ini akan dirasakan dampaknya pada 2050,” ujarnya dalam diskusi bertajuk ‘Menggugat Keberadaan Batu Bara dalam RUPTL’, Selasa (19/10).

Penambahan kapasitas PLTU ini juga dinilai tidak sejalan dengan rekomendasi global, di mana PBB telah menyerukan kepada berbagai negara untuk menghentikan pembangunan PLTU batu bara baru setelah 2020.

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) juga merekomendasikan, untuk mencapai target 1,5 derajat Celsius maka negara-negara harus menutup 80% PLTU yang ada pada 2030, kemudian phase out atau mempensiunkan seluruh PLTU pada 2040.

"Jadi ini sangat bertentangan di saat kita mau menambah PLTU baru ternyata yang dianjurkan phase out atau mengurangi," ujarnya. Simak target bauran energi Indonesia di tahun 2050 pada databoks berikut:

Meski begitu dia tetap mengapresiasi upaya PLN yang memperbesar porsi bauran EBT menjadi 51,6% atau 20,9 GW, lebih besar dari total kapasitas pembangkit energi fosil. Meski rencana ini juga memiliki tantangannya tersendiri.

"Kalau melihat perkembangan 2015-2020, kapasitas pembangkit EBT hanya bertambah 2 GW, padahal untuk mencapai bauran 23% (pada 2025) kita butuh 10,6 GW," ujarnya.

Reporter: Antara