Bauran EBT Turun Menjadi 10,9%, METI: Porsinya Sempat 20% pada 1980

ANTARA FOTO/Arnas Padda/yu/aww.
Hewan ternak milik warga mencari makan di area Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Tolo di Kabupaten Jeneponto, Sulawesi Selatan, Kamis (9/7/2020).
29/10/2021, 07.28 WIB

Turunnya porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 0,3% menjadi 10,9% pada kuartal III 2021, dari 11,2% pada tahun lalu, dinilai perlu mendapat perhatian serius. Pasalnya, hal ini dapat mengancam pencapaian target bauran EBT sebesar 23% pada 2025.

Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan menyusutnya porsi bauran energi terbarukan menunjukkan pengembangan energi bersih tidak bertambah secara signifikan. Terutama dibandingkan dengan energi fosil.

"Berkurangnya porsi EBT dalam bauran energi memang bukan pertama kali terjadi. Jika dilihat perkembangannya, pada 1980 malah porsi EBT masih sekitar 20% dalam bauran energi nasional yang menggunakan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) dan PLTP (panas bumi)," ujarnya kepada Katadata.co.id, Kamis (28/10).

Apalagi pembangkit listrik tenaga uap alias PLTU masih tetap dibangun. Meskipun pemerintah mengklaim proyek PLTU yang berjalan saat ini merupakan proyek lama yang telah berkontrak, bukan dari usulan baru. Kondisi ini tentu secara perlahan akan terus berdampak pada persentase energi terbarukan.

Apalagi Indonesia, juga mempunyai ambisi untuk mencapai target nol emisi karbon pada 2060 atau lebih cepat. Sehingga fokus untuk menggenjot porsi energi terbarukan sudah menjadi keniscayaan. "Jika polanya terus seperti ini, makan akan semakin mengancam capaian target bauran EBT energi nasional," ujarnya.

Sementara, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Eddy Soeparno bakal mendorong agar energi terbarukan di Indonesia cepat berkembang. Sehingga akan berdampak pada peningkatan porsi bauran energi nasional. Namun untuk loncat dari penggunaan energi fosil menuju ke energi terbarukan, ia menyebut kuncinya ada pada gas bumi.

Gas bumi menurutnya diperlukan sebagai energi transisi. Meskipun bukan terbarukan, namun gas merupakan energi fosil yang lebih ramah lingkungan, dibandingkan sumber energi batu bara. Sehingga pemanfaatannya untuk saat ini perlu dioptimalkan.

"Digenjot lagi eksplorasi dan produski gas dan pembangunan infrastrukturnya. di lain pihak pembangkit baru harus mulai memikirkan pelaksanaan untuk pembangkit energi baru terbarukan," ujarnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan bahwa turunnya porsi EBT dalam bauran energi nasional bukan lantaran pembangkit EBT yang berkurang. Namun, karena terjadi kenaikan penggunaan energi fosil.

"Ada kenaikan dari sisi pembangkit listrik basis fosil, bukan karena EBT berkurang," kata Dadan dalam Konferensi Pers Capaian Kinerja Triwulan III 2021 dan Isu-Isu Terkini Subsektor EBTKE, Jumat (22/10).

Dalam lima tahun terakhir, penambahan kapasitas pembangkit EBT sebesar 1.469 megawatt (MW) dengan kenaikan rata-rata 4% per tahun. Sedangkan tambahan kapasitas pembangkit listrik EBT dari Januari hingga September 2021 realisasinya telah mencapai 386 MW.

"Target tahun ini 855 MW, sehingga akan ada pembangkit berbasis EBT sebesar 11,3 GW pada akhir tahun ini ," ujarnya.

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, bauran energi untuk pembangkit listrik hingga Juni 2021 masih didominasi oleh batu bara yakni 65,30%, kemudian gas (17,86%), air (7,05%), panas bumi (5,61%), BBM dan BBN (3,81%), biomassa (0,18%), dan sisanya EBT lain 0,18%.

"Ini besaran bauran energi di sektor pembangkit listrik hingga Juni 2021. Bukan kapasitas terpasang, tapi realisasi produksi listriknya," ujar Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Ida Nuryatin Finahari.

Reporter: Verda Nano Setiawan