Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB COP26 di Glasgow, Skotlandia, pemerintah Indonesia mengutarakan keinginannya untuk mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sebagai komitmen untuk menurunkan emisi karbon demi mencegah perubahan iklim.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi 5,5 gigawatt (GW) PLTU yang dapat dipensiunkan lebih cepat dalam waktu 8 tahun. Namun untuk itu dibutuhkan dana US$ 25-30 miliar atau sekitar Rp 357-228 triliun.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menilai keberpihakan pada lingkungan bersih memang bagus. Namun perlu dicatat, setiap kebijakan yang diambil harus dipertimbangkan secara matang.
Sebab, sumber energi baru terbarukan (EBT) yang digadang-gadang untuk menggantikan PLTU masih belum signifikan pemanfaatannya. Porsi EBT pada bauran energi nasional masih relatif kecil, bahkan menurun.
"Produksi listrik sekitar 65-70% masih berasal dari PLTU batu bara. Bisa dibayangkan kalau dipensiunkan akan mengganti berapa gigawatt yang perlu dihitung ulang oleh pemerintah," kata Komaidi kepada Katadata.co.id, Kamis (4/14).
Bebani PLN
Komaidi menambahkan bahwa berdasarkan perhitungan PLN, setiap 1 gigawatt (GW) yang dipercepat masa pensiunnya, setidaknya membutuhkan dana sekitar Rp 5 triliun per tahun. Ketika PLTU telah dipensiunkan dan digantikan oleh EBT, biaya pokok penyediaan (BPP) listrik juga akan naik dan berimbas pada tarif listrik.
Dia juga mengingatkan transisi energi yang dilakukan secara penuh akan berdampak besar terhadap kondisi keuangan perusahaan setrum pelat merah. Misalnya, dengan batu bara sebagai sumber energi murah saja, utang PLN saat ini telah mencapai di atas Rp 600 triliun.
Bagi ukuran perusahaan listrik, hal tersebut sangat tidak sehat. Apalagi jika kemudian PLN harus membeli listrik dari sumber energi terbarukan yang belum ekonomis. "Gak bisa dibayangkan kalau PLN pakai sumber energi mahal. Kemudian kapasitas fiskal gak mampu mem-backup itu, mereka babak belur lebih dalam," ujarnya.
Karena itu, Komaidi pun menyarankan supaya potensi sumber energi yang dimiliki Indonesia dioptimalkan sembari mencari teknologi ramah lingkungan, paralel tanpa meninggalkan EBT yang sedang pemerintah upayakan untuk digenjot.
"Kita kan juga ada panas bumi kapasitasnya besar kita kembangkan secara paralel. Nah kalau panas bumi sudah dapat nilai keekonomiannya mungkin bisa bertahap PLTU-nya dipensiunkan," kata dia.
Sementara, Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustasya mengatakan rencana mempensiunkan PLTU lebih cepat bisa menjadi jalan keluar bagi Indonesia untuk menghentikan operasi PLTU batu bara di 2040 sesuai rekomendasi IPCC dan melakukan transisi ambisius ke energi bersih dan terbarukan.
Strategi Pensiun Dini PLTU
PLTU batu bara dengan kapasitas saat ini 31,9 GW telah berkontribusi sangat besar terhadap krisis iklim serta dampak kesehatan, sosial dan ekonomi yang merugikan rakyat. "Tambahan sebesar 13,8 GW PLTU dalam RUPTL 2021-2030, 90% akan dibangun di Jawa dan Sumatera yang sudah mengalami kelebihan kapasitas," kata dia.
Namun ia masih mempertanyakan apakah inisiatif pemerintah ini akan menjadi game changer untuk mewujudkan transisi energi yang berkeadilan. Untuk itu, ada beberapa hal yang dapat ditempuh Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Pemerintah Indonesia agar inisiatif ini terimplementasi dengan baik.
Pertama, memastikan penutupan lebih awal PLTU batu bara diikuti transisi yang sesungguhnya ke EBT, seperti energi surya. Inisiatif ini tidak boleh membawa rakyat Indonesia kepada solusi semu, seperti energi gas, yang malah bakal menunda transisi.
Kedua, menghilangkan berbagai hambatan dan menciptakan insentif bagi pengembangan energi bersih dan terbarukan yang potensinya melimpah di Indonesia.
Dengan demikian, penambahan kapasitas dari energi bersih dan terbarukan bisa berjalan seiring dengan penutupan PLTU batu bara untuk memastikan akses energi bagi seluruh rakyat Indonesia. Transisi ke energi bersih dan terbarukan harus diinisiasi dan dipimpin oleh pemerintah, bukan oleh pasar.
Ketiga, menerapkan tata kelola yang baik melalui transparansi dan pelibatan partisipasi semua pemangku kepentingan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi mekanisme tersebut.
Keempat, memastikan bahwa mekanisme ini tidak menjadi bail out dan pencarian rente ekonomi baru bagi pengusaha PLTU batu bara baru. Penentuan harga PLTU batu bara dalam mekanisme ini harus dilakukan secara transparan.
Hal ini untuk mencegah kelebihan harga yang mengabaikan bahwa PLTU batu bara terancam menjadi aset mangkrak dalam 10-15 tahun ke depan dan saat ini berada dalam kondisi kelebihan kapasitas.
Kelima, memasukkan eksternalitas dan biaya pemulihan kerusakan dari operasi PLTU batu bara. Mekanisme ini harus menyediakan pembiayaan yang memadai dan berkeadilan untuk pemulihan dampak kesehatan, ekonomi, dan sosial bagi warga terdampak.
"Pengumuman ini tidaklah berarti bila berbagai produk kebijakan di level implementasi justru bertolak belakang. Penutupan PLTU benar-benar harus disertai dengan pengembangan energi bersih dan terbarukan, tidak lari ke berbagai solusi semu," kata Tata.
Seperti diketahui, ADB baru saja meluncurkan mekanisme pembiayaan yang bertujuan untuk mempensiunkan dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara di Indonesia dan Filipina. Simak databoks berikut:
Mekanisme tersebut bernama Energy Transition Mechanism (ETM) yang akan membentuk kemitraan publik-swasta yang akan membeli PLTU dan menghentikan operasionalnya dalam waktu 15 tahun, lebih cepat dari usia normalnya.
ETM akan diujicobakan di Indonesia dan Filipina, dan akan bekerja sama dengan pemerintah dalam melakukan uji kelayakan untuk mendesain model bisnis yang tepat untuk setiap negara dalam mempensiunkan PLTU lebih cepat.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani rencana pensiun dini PLTU batu bara menjadi salah satu agenda transisi energi Indonesia untuk memenuhi komitmen penanganan perubahan iklim. Sebagaimana dokumen NDC, Indonesia berjanji mengurangi emisi 29% hingga tahun 2030 dengan upaya sendiri dan 41% dengan dukungan internasional.