Penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS) atau penangkapan dan pemanfaatan karbon untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dinilai mempunyai keterbatasan. Sehingga opsi penghentian penggunaan PLTU dinilai lebih mendesak untuk menurunkan emisi karbon.
Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, teknologi ini menangkap karbon lalu diinjeksikan kembali ke perut bumi menggunakan teknologi CCUS. Ini tergantung dari kapasitas reservoir yang ada, sehingga upaya untuk menekan emisi dari PLTU melalui teknologi ini menjadi terbatas.
"Apakah dalam jangka panjang, kalau ini kan terus bertambah emisinya ada keterbatasan yang saya lihat," kata Arifin dalam Youth Camp for Future Leader on Environment, Selasa (16/11).
Sekalipun teknologi CCUS ke depannya dikatakan akan ekonomis untuk diterapkan pada PLTU. Namun tetap saja, untuk menerapkan teknologi ini, suatu perusahaan butuh mengeluarkan dana untuk investasinya.
Sementara di lain sisi, investasi yang dikeluarkan untuk pembangunan pembangkit energi terbarukan semakin murah. Ditambah performa teknologi yang terus berkembang, membuat EBT menjadi pertimbangan karena telah kompetitif.
"Jadi kita punya kapasitas reservoir 1,5 giga (miliar) ton CO2 tapi kalau kita lihat output yang harus kita tangkap selama sekian tahun apakah ini akan bisa mengakomodir?," ujarnya.
Apalagi saat ini juga masih belum ada teknologi carbon capture skala besar untuk dapat diterapkan secara penuh. Hanya memang, Pertamina sudah melakukan uji coba penerapan CCUS di beberapa lapangan migasnya. "Memang kita punya sumber batu bara banyak tapi memang tuntutannya seperti ini," katanya.
Sebelumnya Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana optimis teknologi ini akan ekonomis seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi.
Dia memperkirakan dalam 10 tahun teknologi CCUS akan mulai terlihat keekonomiannya dari sisi komersial. "Kami masukan ke parameter bagaimana kalau CCUS masuk supaya PLTU-nya secara bertahap untuk dipensiunkan," ujarnya dalam wawancara bersama Katadata.co.id beberapa waktu lalu.
Menurut Dadan, Badan Energi Internasional (IEA) memprediksi teknologi CCUS akan berkontribusi sekitar 15% dalam mencapai target nol emisi bersih. Untuk itu, pemerintah terus mengkaji keekonomian teknologi ini.
Beberapa negara di dunia sudah mulai menerapkan teknologi ini secara komersial. Namun penerapannya pada PLTU masih belum banyak. Oleh karena itu, pemerintah saat ini tengah melakukan kajian untuk dapat mengimplementasi teknologi CCUS ini pada sejumlah PLTU.
"Sekarang angkanya itu US$ 40 per ton biaya tambahan untuk mengambil CO2-nya. Tapi angka ini akan terus bergerak, bisa ke atas bisa ke bawah karena teknologinya kan belum berkembang secara massal," ujarnya.