Mengenal DME, Calon Pengganti Gas Elpiji sebagai Bahan Bakar Memasak

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.
Penjual tabung LPG saat hujan di Jalan KH Mas Mansyur, Tanah Abang, Jakarta, Selasa (26/1/2021).
Editor: Yuliawati
18/11/2021, 11.57 WIB

Pemerintah saat ini tengah berencana menggenjot pengembangan proyek gasifikasi batu bara berkarbon rendah menjadi dimethyl eter atau DME. Produk DME disiapkan untuk menggantikan Liquefied Petroleum Gas (LPG) dalam memenuhi kebutuhan bahan bakar untuk memasak.

DME diarahkan sebagai substitusi gas elpiji yang digunakan untuk menggantikan minyak tanah. Kementerian ESDM mencatat 75% penggunaan LPG berasal dari impor.

ESDM telah merampungkan uji penggunaan DME 100% kepada 155 kepala keluarga yang tinggal di wilayah Kota Palembang dan Muara Enim, Sumatera pada Desember 2019 hingga Januari 2020. Dari pemakaian ini, secara umum dapat diterima oleh masyarakat.

Uji penerapan DME DME 20%, 50% dan 100% juga dijalankan di Kecamatan Marunda, Jakarta yang melibatkan 100 kepala keluarga pada 2017.

Direktur Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Dadan Kusdiana beberapa waktu lalu menyatakan, karakteristik DME memiliki kesamaan baik sifat kimia maupun fisika dengan LPG. Karena itu, DME dapat menggunakan infrastruktur LPG seperti tabung, storage dan handling eksisting.

"Campuran DME sebesar 20% dan LPG 80% dapat digunakan kompor gas eksisting," kata Dadan.

Kelebihan lain dari DME sendiri yakni dapat diproduksi dari berbagai sumber energi, termasuk bahan yang dapat diperbarui. Antara lain biomassa, limbah dan Coal Bed Methane (CBM). Namun saat ini, batu bara kalori rendah dinilai sebagai bahan baku yang paling ideal untuk pengembangan DME.

Meskipun industrinya belum ada di Indonesia, Kementerian ESDM akan mengembangkan pendukung teknis di dalam negeri, baik dari sisi produksi dan pemanfaatan.

DME memiliki kandungan panas (calorific value) sebesar 7.749 Kcal/Kg, sementara kandungan panas LPG senilai 12.076 Kcal/Kg. Meski demikian, DME memiliki massa jenis yang lebih tinggi sehingga kalau dalam perbandingan kalori antara DME dengan LPG sekitar 1 berbanding 1,6.

Pemilihan DME untuk subtitusi sumber energi juga mempertimbangkan dampak lingkungan. DME dinilai mudah terurai di udara sehingga tidak merusak ozon dan meminimalisir gas rumah kaca hingga 20%.

"Kalau LPG per tahun menghasilkan emisi 930 kg CO2, nanti dengan DME hitungannya akan berkurang menjadi 745 kg CO2. Ini nilai-nilai yang sangat baik sejalan dengan upaya-upaya global menekan emisi gas rumah kaca," kata Dadan.

Proyek DME Potensi Berlaku Jangka Panjang


Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menyebut proyek DME sebagai pengganti LPG merupakan proyek jangka panjang. Proyek ini tidak dapat diimplementasikan dalam waktu dekat.

Proyek DME membutuhkan biaya dan investasi yang cukup besar. Apalagi ini merupakan program hilirisasi dari batu bara. "Aturan mainnya juga belum terlalu clear soal ini," kata dia kepada Katadata.co.id, Kamis (18/11).
 
Perusahaan bidang pengolahan gas dan kimia asal Amerika Serikat (AS), Air Products and Chemicals Inc (APCI), menyatakan akan berinvestasi sebesar US$ 15 miliar atau setara Rp 210 triliun untuk pembangunan industri gasifikasi batu bara dan turunannya di Indonesia.

Mamit menilai investasi Air Product yang cukup besar berpotensi membuat harga jual DME akan lebih mahal dari LPG.

Bila ini terjadi, rencana awal untuk hilirisasi dan upaya untuk mengurangi impor LPG berpotensi gagal. "Atau jangan-jangan nanti pemerintah memberikan subsidi kepada produk DME ini. Tidak berubah skemanya," ujarnya.

Mamit mengatakan pendistribusian DME sendiri biasanya dapat dilakukan melalui pipanisasi atau menggunakan tabung seperti LPG. Kelebihan dari DME lebih aman jika dibandingkan dengan LPG.

Hal ini dikarenakan tekanan dari DME lebih rendah. Selain itu, api yang dihasilkan juga lebih biru. Hanya saja, panas yang dihasilkan lebih sedikit jika dibandingkan dengan LPG. Sehingga konsumsi gas akan lebih besar.

Jika proyek ini tetap dipaksakan, Mamit meyakini kan memberatkan masyarakat atau pemerintah yang akan memberikan subsidi. Sehingga rencana konversi juga bisa tidak berjalan dengan baik.

Pertamina sendiri saat ini masih menanti dukungan regulasi dari pemerintah sebelum mengimplementasikan proyek DME. Di satu sisi,  Pertamina saat ini tengah memproses negosiasi outstanding items Processing Services Agreement dengan mitra.

Paralel dengan itu, perusahaan juga berdiskusi dengan para stakeholder. Khususnya Kementerian ESDM, Kementerian BUMN, dan Kementerian Keuangan, terkait dengan dukungan regulasi pemerintah yang dibutuhkan untuk implementasi DME.

Terutama berkaitan dengan penugasan, penentuan harga, subsidi, alokasi wilayah atau market, hingga jaminan risiko perubahan regulasi dan politik.

"Pertamina dan mitra mengusulkan draft Peraturan Presiden terkait dengan dukungan tersebut dan saat ini masih dalam proses review oleh Biro Hukum Kementerian BUMN," ujar  Pjs Senior Vice President Corporate Communications and Investor Relations Pertamina, Heppy Wulansari, kepada Katadata.co.id, Senin (8/11).

Reporter: Verda Nano Setiawan