Digeber Untuk Gantikan LPG, Keekonomian Proyek DME Jadi Hambatan

ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/hp.
19/11/2021, 16.21 WIB

Rencana pemerintah mengembangkan proyek gasifikasi batu bara berkarbon rendah menjadi dimethyl eter atau DME dinilai akan sulit. Sebab, proyek untuk mengembangkan produk calon pengganti liquefied petroleum gas (LPG) ini masih belum ekonomis untuk diimplementasikan.

Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) menyatakan dukungannya terhadap proyek gasifikasi batu bara menjadi DME yang merupakan salah satu upaya pemerintah dalam mencapai target net zero emission atau nol emisi karbon. Namun Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan proyek ini tak mudah untuk direalisasikan.

"Terutama karena faktor keekonomiannya, mengingat investasi yang dibutuhkan berskala besar dan jangka panjang," ujarnya kepada Katadata.co.id, Jumat (19/11).

Menurut dia ada beberapa faktor yang mempengaruhi keekonomian proyek DME, salah satunya teknologi yang saat ini belum dimiliki Indonesia. Hal ini akan berdampak pada harga jualnya yang mahal.

Kemudian dari segi pengapian dan efisiensi, gasifikasi batu bara menjadi DME ini sekitar 70% menggunakan LPG. Sedangkan saat ini harga jual LPG masih dipatok oleh pemerintah untuk kepentingan masyarakat umum. Sehingga jika skenario harga jualnya masih tetap seperti ini, dikhawatirkan keekonomian untuk investasinya jadi lebih berat.

Untuk diketahui, sejauh ini hanya Tiongkok yang telah memproduksi DME karena faktor cadangan batu bara yang melimpah. "Mengenai harga jual, hingga saat ini belum ada harga patokan global sehingga investor harus berpikir keras untuk masuk (ke proyek ini) tanpa mengetahui model ekonominya," ujarnya.

Selain itu, pendanaan untuk proyek-proyek berbasis batu bara di masa depan juga akan semakin sulit. Sebab, banyak lembaga keuangan global yang sudah berkomitmen untuk membersihkan portofolio mereka dari batu bara, sehingga akan menghentikan dukungan pendanaannya.

"Kalaupun ada lembaga pembiayaan atau perbankan yang mau mendanai, tentu cost of fund-nya akan sangat mahal," katanya.

Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo mengatakan proyek DME merupakan target dalam Grand Strategi Energi yang ditetapkan Kementerian ESDM. Proyek ini diarahkan bagi perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang ingin mengajukan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

"Sesuai dengan UU No.3/2020 menjadi kewajiban bagi IUPK untuk mengembangkan peningkatan nilai tambah (PNT) dan arah dari pemerintah adalah lewat proyek DME," katanya.

Tujuannya untuk mengurangi impor LPG. Bahkan, pemerintah telah memperkuat aturannya dengan menetapkan royalti 0% bagi batu bara yang akan dimanfaatkan untuk memproduksi DME.

Karena investasi DME dapat mencapai US$ 2 miliar lebih, maka PKP2B yang akan mengajukan perubahan menjadi IUPK tidak hanya saja menginginkan berbagai keringanan, baik dari sisi fiskal maupun non-fiskal dan kemudahan perizinan lainnya. "Ada yang meminta agar masa perpanjangan tambang sama dengan umur plan DME," kata dia.

Menurut Singgih, ini menjadi masuk akal bagi PKP2B dalam pengajuan menjadi IUPK dan khususnya terkait dengan proposal PNT yang harus dimasukkan bersamaan. Mengingat besarnya investasi, perubahan dari mining industry menjadi chemical industry, SDM yang berbeda, dan komitmen off-taker di saat DME beroperasi.

Dengan besarnya investasi dan bentuk bisnis yang berbeda, maka berbagai parameter fiskal dan non fiskal harus dapat dijawab sebelum pemerintah menyetujui proposal PNT yang bersamaan diajukan dalam perpanjangan PKP2B.

Sehingga proyek DMI menjadi masuk akal jika tujuannya untuk mensubstitusi impor LPG. "Namun jika tujuannya lebih diarahkan menggantikan pasar ekspor, maka tidak proporsional," ujarnya.

Mengingat kebutuhan batu bara untuk DME PT Bukit Asam dan metanol PT Arutmin yang mulai beroperasi pada 2025 ini hanya mencapai 13 juta ton dan naik menjadi maksimal 30 juta ton pada 2030. Di sisi lain PLN membatasi konsumsi batu bara pada 2030 di level 153 juta ton.

Belum lagi Cina yang akan memaksimalkan demand dan setelahnya menguranginya pada 2026. Sama halnya dengan India yang terus memperbesar porsi energi baru terbarukan (EBT)-nya. Dengan alasan ini, maka pekerjaan rumah terbesar pemerintah saat ini justru lebih untuk mempersiapkan pengendalian produksi batu bara sejak 2025.

"Keinginan pemerintah untuk mengendalikan produksi batu bara nasional di level 600 juta ton per tahun perlu dievaluasi kembali," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan