Kementerian ESDM menyampaikan terdapat 21 proyek energi terbarukan berkapasitas 1,2 gigawatt (GW) yang bakal ditawarkan ke investor pada 2021-2022. Penawaran proyek tersebut merupakan kelanjutan dari diterbitkannya Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
Dalam RUPTL 2021-2030 disebutkan tambahan kapasitas pembangkit listrik mencapai 40,6 GW. Dengan porsi pembangkit energi baru terbarukan (EBT) ditetapkan 51,6% dan fosil 48,4%.
Beberapa proyek tersebut rinciannya yakni Pembagkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kumbih-3 berkapasitas 45 megawatt (MW), PLTA Bakaru-II 140 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Hululais 1 dan 2 110 MW.
Kemudian, Pembangkit hydro Sumatera tersebar 200 MW, PLTP Tulehu 1 dan 2 20 MW, PLTP Songa Wayua 2x5 MW, PLTP Atadei 2x5 MW, PLT Biomassa Halmahera 10 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Sumbawa-Bima tersebar 10 MW
juga, konversi Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) menjadi PLTS dan battery energy storage system (BESS) 500 MW.
Direktur Aneka Energi Terbarukan Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya mengatakan pemerintah terus berkoordinasi dengan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait pengadaan 21 proyek tersebut.
Adapun program konversi PLTD menjadi PLTS rencananya akan ditawarkan pada awal tahun 2022.
Selanjutnya, penawaran proyek PLTS dan PLTA akan berlangsung pada semester I dan II.
"Kami pantau terus terkait proses pengadaan dan penawaran, karena kami melihat 1,2 GW ini belum cukup," kata dia dalam diskusi The 10th Indo EBTKE ConEx 2021, Senin (22/11).
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan banyak investor yang minat untuk ikut berpartisipasi pada proyek tersebut.
Namun, dia mengakui hambatan saat ini masih berkutat pada bankability dan keekonomian proyek karena peraturan yang terus berubah ubah.
Oleh karena itu, menurut dia diperlukan payung hukum seperti UU energi terbarukan dan Peraturan Presiden (Perpres) tentang tarif pembelian tenaga listrik yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT).
"Kami sangat berharap dan menaruh harapan pada pemerintah yang sekarang ini dan juga Kementerian ESDM," ujarnya.
Sementara, Chrisnawan menyampaikan bahwa perpres harga EBT saat ini prosesnya masih terus bergulir. Adapun Kementerian ESDM saat ini tengah proses finalisasi untuk beberapa hal.
"Kita harapkan segera untuk dapat diterbitkan. Target kita selesai di Kementerian adalah di bulan November ini," ujarnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar skenario transisi energi dapat berjalan cepat dengan kalkulasi yang tepat.
Pasalnya, skema dan hitung-hitungan dalam melakukan transisi energi dalam mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan dana yang tak sedikit.
Sementara, Indonesia telah terkunci dengan kontrak PLTU batu bara jangka panjang sejak lama. Sehingga jika akan beralih ke energi terbarukan secara penuh maka dibutuhkan dana yang cukup besar.
Menurut dia dengan penggantian pembangkit energi fosil ke energi terbarukan, maka biaya pokok penyediaan listrik dipastikan dapat melonjak.
Hal ini pun akan berpengaruh terhadap penetapan harga ke tingkat konsumen.
"Misalnya pendanaan datang, investasi datang, harganya kan lebih mahal dari batu bara. Siapa yang bayar gapnya? negara? Gak mungkin. Angkanya berapa ratus triliun," kata Jokowi dalam The 10th Indo EBTKE ConEx 2021, Senin (22/11).