Pemerintah akan memungut pajak karbon dari pegoperasian PLTU mulai 1 April 2022 mendatang. Namun, ketentuan itu belum berlaku bagi industri yang mempunyai izin penyediaan listrik mandiri.
Direktur Teknik dan Lingkungan Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Wanhar, menjelaskan pemerintah belum mengatur skema perdagangan karbon bagi PLTU yang dioperasikan industri. Sehingga PLTU dengan kapasitas di bawah 100 MW, termasuk untuk industri pemakaian sendiri, untuk sementara waktu belum akan dikenakan pajak karbon.
"Di masa mendatang perdagangan karbon ini kan instrumen saja. Tujuannya mengurangi emisi gas rumah kaca," kata Wanhar dalam Indonesia Carbon Forum, Rabu (1/12).
Meski begitu, pemerintah tak menutup kemungkinan akan menyasar kelompok ini guna mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC). "Ke depan akan kena pajak (karbon), untuk instrumen lingkungan hidup kita," ujarnya.
Pajak karbon akan berlaku secara bertahap mulai April tahun depan sebagaimana tertuang dalam Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pajak ini akan mulai diberlakukan secara terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna Laoly mengatakan penerapan pajak karbon diselaraskan dengan carbon trading. Ini merupakan bagian dari roadmap green economy.
"Hal ini untuk meminimalisasi dampaknya terhadap dunia usaha tetapi tetap mampu berperan dalam penurunan emisi karbon," kata Yasonna beberapa waktu lalu.
Ketentuan pajak karbon ini berlaku tarif lebih tinggi atau sama dengan harga di pasaran, tetapi ditetapkan juga tarif minimum sebesar Rp 30 per Kg CO2 atau Rp 30.000 per ton CO2 ekuivalen. Pajak akan diberlakukan bagi PLTU yang menghasilkan emisi melebihi cap atau batas atas yang ditetapka
Berdasarkan bahan paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna, implementasi pajak karbon akan dimulai 1 April 2022 secara terbatas hanya ke sektor PLTU batu bara. Penerapannya nanti akan memakai skema cap and tax.
Adapun peta jalan pajak karbon nantinya berlaku dua skema, yakni skema perdagangan karbon (cap and trade) dan skema pajak karbon (cap and tax). Pada skema perdagangan karbon, entitas yang menghasilkan emisi lebih dari cap diharuskan membeli sertifikat izin emisi (SIE) entitas lain yang emisinya di bawah cap. Selain itu, entitas juga dapat membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).
Namun jika entitas tersebut tidak dapat membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax, yakni sisa emisi yang melebihi cap akan dikenakan pajak karbon.