Pemerintah telah berkomitmen untuk mencapai target net zero emission atau nol emisi karbon pada 2060 atau lebih cepat. Namun biaya untuk merealisasikan komitmen tersebut begitu besar, terutama untuk melakukan transisi energi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan pemrintah telah berdiskusi dengan Asian Development Bank (ADB) untuk percepatan transisi energi RI. Adapun jika global menginginkan Indonesia bertransformasi dari penggunaan energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT), maka dukungan nyata dari internasional harus terealisasi.
Pasalnya, RI masih memiliki sumber daya alam, khususnya energi fosil, yang sangat kaya dan begitu besar, sehingga jika batu bara dan minyak bumi tak bisa lagi digunakan, maka harus ada biaya yang dikeluarkan untuk mengganti sumber daya alam tersebut.
"Kalau global menginginkan Indonesia mentransformasi dari non renewable menjadi renewable ini tanggung jawab mereka. Indonesia punya natural resources yang sangat kaya," kata Sri Mulyani dalam Pertamina Energy Webinar 2021: Energizing Your Future, Selasa (7/12).
Menurutnya upaya mempensiunkan dini PLTU batu bara yang selama ini memasok kebutuhan energi di masyarakat memerlukan dana besar. Belum lagi jika pemerintah harus membangun pembangkit energi terbarukan untuk menggantikan PLTU yang dipensiunkan.
Sementara, pembangkit energi terbarukan seperti panas bumi, hidro membutuhkan investasi yang sangat besar. Meskipun berdampak positif, namun dari segi pendanaan juga butuh dukungan yang luar biasa. Belum lagi pengembangan panas bumi yang memiliki tingkat risiko tinggi.
Tak hanya itu, kebijakan mengenai risiko penetapan tarif dalam jangka menengah panjang juga perlu didetailkan. Terutama dalam kerangka energy transition mechanism yang mendukung komitmen Indonesia.
"Apakah ada dampak fiskalnya? Sangat banyak. APBN memiliki banyak instrumen konsekuensinya harus kita jaga. APBN gak boleh rusak atau sakit jadi APBN harus sehat guna mendukung pemulihan ekonomi apalagi masih dalam situasi pandemi," kata dia.
Namun bukan berarti APBN tak sanggup untuk memberikan insentif guna menuju tercapainya transformasi energi. Presiden sendiri baru saja mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Menurutnya kebijakan ini merupakan langkah awal bagi munculnya mekanisme pasar karbon sebagai suatu alat untuk melakukan komitmen dalam net zero emission Indonesia.
Dengan kebijakan ini, pemerintah dapat menciptakan pertukaran bagi mereka yang memiliki kontribusi cukup besar dalam menurunkan emisi dan mereka yang menghasilkan karbon. "Kalau trading tidak sempurna kita masih punya instrumen baru yakni carbon tax," katanya.