Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai komitmen pemerintah dalam melakukan transisi energi di Indonesia masih gamang. Terutama setelah Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa transisi energi harus dilakukan tanpa membebani APBN.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan rencana pemerintah dalam menetapkan target dekarbonisasi pada 2060 atau lebih cepat serta rencana pensiun dini PLTU merupakan langkah awal yang bagus untuk memulai transisi energi di Indonesia.
Namun, pemerintah dinilai masih setengah hati dalam melakukan transisi energi sebab . Hal tersebut dapat terlihat ketika Jokowi meminta agar transisi energi tidak memberatkan APBN dan kenaikan tarif didasarkan pada pemahaman energi terbarukan mahal.
"IESR menilai pemerintah masih gamang melakukan transisi energi," kata Fabby dalam Indonesia Energy Transition Outlook 2022, Selasa (21/12).
Hal itu juga ditambah dengan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang memandang transisi energi memerlukan biaya besar. Hal ini dapat diartikan bahwa perubahan sistem energi dari energi fosil ke energi terbarukan akan menimbulkan beban fiskal pada negara.
"Mengisyaratkan pesan bahwa kita transisi jika ada bantuan asing saja. Harusnya biaya transisi energi tidak dipandang beban tapi kesempatan investasi baru," ujarnya. Simak databoks berikut:
Menurut Fabby agenda transisi energi di Indonesia membuka peluang kesempatan untuk beralihnya suatu investasi. Khususnya, dari pemanfaatan teknologi fosil beralih ke sumber energi terbarukan. Antara lain seperti di sektor kelistrikan transportasi dan sektor industri.
Transisi energi setidaknya dapat dilakukan dengan tiga cara. Satu, menerjemahkan komitmen politik ke dalam kerangka kebijakan dan regulasi. Dua, revisi Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) agar sejalan dengan target dekarbonisasi 2060 atau lebih awal. Tiga, peninjauan ulang kebijakan harga energi dan subsidi energi fosil.
Seperti diketahui, Jokowi sebelumnya meminta agar skenario transisi energi dapat berjalan cepat dengan kalkulasi yang tepat. Pasalnya, skema dan hitung-hitungan dalam melakukan transisi energi dalam mengejar target bauran energi baru terbarukan (EBT) membutuhkan dana yang tak sedikit.
Sementara, Indonesia telah terkunci dengan kontrak PLTU batu bara jangka panjang sejak lama. Sehingga jika akan beralih ke energi terbarukan secara penuh maka dibutuhkan dana yang cukup besar.
Menurut dia dengan penggantian pembangkit energi fosil ke energi terbarukan, maka biaya pokok penyediaan listrik dipastikan dapat melonjak. Hal ini pun akan berpengaruh terhadap penetapan harga ke tingkat konsumen.
"Misalnya pendanaan datang, investasi datang, harganya kan lebih mahal dari batu bara. Siapa yang bayar gapnya? negara? Gak mungkin. Angkanya berapa ratus triliun," kata Jokowi dalam The 10th Indo EBTKE ConEx 2021, Senin (22/11).
Hal itu juga tak memungkinkan jika harus dibebankan oleh masyarakat. Mengingat kenaikan tarif listrik 10-15% saja menurut dia kehebohan di masyarakat bisa sampai tiga bulan, apalagi jika kenaikannya mencapai dua kali lipat.
Oleh sebab itu, ia menekankan para jajarannya di level menteri untuk dapat memberikan masukan yang konkrit. Namun kalkulasinya jelas disertai angka realistis. "Kalau ini bisa kita mentransisikan pasti ada harga naik. Pas naik ini pertanyaanya siapa yang bertanggung jawab," kata dia.