Kementerian ESDM menargetkan kapasitas pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap pada tahun ini dapat mencapai 450 megawatt peak (MWp). Jika tercapai, maka akan ada peningkatan hingga 822% dari realisasi 2021 yang hanya mencapai 48,8 MWp dari 4.794 pelanggan.
Direktur Jenderal EBTKE Dadan Kusdiana mengatakan bahwa antusiasme pelanggan yang ingin memasang PLTS atap cukup masif setelah diimplementasikannya Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2021 tentang pemanfaatan PLTS atap di Indonesia.
Menurut Dadan minat terbesar berasal dari sektor industri. Pasalnya aturan ini menjawab kebutuhan industri akan pasokan listrik dari energi baru terbarukan (EBT).
"Khususnya dari sektor industri yang ingin memasang PLTS atap, sejalan dengan tuntutan menuju green industry (industri hijau) yang menghasilkan green product (produk hijau)," kata Dadan kepada Katadata.co.id, Senin (31/1).
Dadan mengatakan pemanfaatan PLTS atap menjadi salah satu strategi pemerintah untuk menggenjot pengembangan energi terbarukan di tanah air dalam mengejar target bauran EBT 23% pada 2025.
Pasalnya PLTS atap bersifat sukarela dari partisipasi masyarakat yang ingin menghemat tagihan listrik, mendapatkan energi bersih dan menurunkan emisi gas rumah kaca. Simak databoks berikut:
Pada tahun lalu misalnya, Danone Indonesia resmikan PLTS atap berkapasitas 2.112 Kilowatt Peak (kWP) di Pabrik Mekarsari, Jawa Barat. PLTS tersebut dapat menghasilkan listrik sebesar 2.3 Gigawatt hour (GWh) sekaligus mengurangi 1.916 ton emisi karbon per tahun.
Vice President General Secretary Danone Indonesia Vera Galuh sebelumnya mengatakan pihaknya akan terus berkomitmen mendukung pemerintah dalam mengatasi perubahan iklim. Salah satunya melalui pengembangan PLTS atap di wilayah operasinya.
"Kalau berbicara tantangan di masa datang selain Covid-19, yang semakin nyata yakni perubahan iklim. Sudah menjadi kewajiban kita bersama, tak hanya pemerintah tetapi swasta untuk menangani perubahan iklim," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, inisiatif membangun PLTS atap di seluruh pabrik perusahaan akan terus dilanjutkan. Danone-AQUA menargetkan setidaknya 17 pabriknya akan menggunakan pembangkit listrik ramah lingkungan ini dengan total kapasitas sistem lebih dari 15 ribu kWP.
Kementerian ESDM sebelumya mengklaim bahwa pengembangan PLTS atap secara masif, dengan kapasitas total 3,6 gigawatt (GW) yang tengah direncanakan dibangun, dapat menurunkan konsumsi batu bara nasional hingga 3 juta ton per tahun ketika mulai beroperasi.
Selain itu ada beberapa dampak positif lainnya, antara lain:
- Berpotensi menyerap 121.500 orang tenaga kerja;
- Berpotensi meningkatkan investasi sebesar Rp 45-63,7 triliun untuk pembangunan fisik PLTS dan Rp 2,04-4,1 triliun untuk pengadaan kWh Exim;
- Mendorong tumbuhnya industri pendukung PLTS di dalam negeri dan meningkatkan daya saing dengan semakin tingginya kandungan tingkat komponen dalam negeri (TKDN);
- Mendorong green product sektor jasa dan green industry untuk menghindari penerapan carbon border tax di tingkat global;
- Menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 4,58 juta ton CO2e;
- Berpotensi mendapatkan penerimaan dari penjualan nilai ekonomi karbon sebesar Rp 60 miliar/tahun (asumsi harga karbon US$2 /ton CO2e).
Adapun substansi pokok dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yaitu:
- Ketentuan ekspor kWh listrik ditingkatkan dari 65% menjadi 100%;
- Kelebihan akumulasi selisih tagihan dinihilkan, diperpanjang dari 3 bulan menjadi 6 bulan;
- Jangka waktu permohonan PLTS Atap menjadi lebih singkat (5 hari tanpa penyesuaian Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL) dan 12 hari dengan adanya penyesuaian PJBL);
- Mekanisme pelayanan berbasis aplikasi untuk kemudahan penyampaian permohonan, pelaporan, dan pengawasan program PLTS Atap;
- Dibukanya peluang perdagangan karbon dari PLTS Atap;
- Tersedianya Pusat Pengaduan PLTS Atap untuk menerima pengaduan dari pelanggan PLTS Atap atau Pemegang IUPTLU; dan
- Perluasan pengaturan tidak hanya untuk pelanggan PLN saja tetapi juga termasuk pelanggan di Wilayah Usaha non-PLN (Pemegang IUPTLU).
Adapun, proses pelayanan sistem PLTS Atap selama masa transisi masih dilakukan secara manual, belum berbasis aplikasi. Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2021 merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya sebagai upaya memperbaiki tata kelola dan keekonomian PLTS atap.
Meski begitu, pengembangan PLTS atap dengan kapasitas tersebut juga akan berdampak bagi pendapatan PLN. Setidaknya ada potensi penurunan pendapatan hingga Rp 5,7 triliun per tahun.
Namun, pada akhirnya PLN dan pemerintah akan diuntungkan dengan turunnya biaya pokok penyediaan (BPP) listrik sebesar Rp 12,61/kWh yang dapat mengurangi subsidi dan kompensasi listrik hingga sebesar Rp 3,6 triliun.