DEN Unggulkan PLTS untuk Transisi Energi Dibadingkan PLTN

ANTARA FOTO/REUTERS/Pascal Rossignol/WSJ/sad.
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).
12/3/2022, 06.00 WIB

Rencana Indonesia mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dinilai penuh tantangan. Hal ini terkait dengan biaya investasi yang dibutuhkan hingga penguasaan teknologi yang masih minim.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Herman Darnel Ibrahim mengatakan bahwa investasi pengembangan PLTN lebih mahal dibandingkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). Dia juga menilai Indonesia akan banyak bergantung kepada negara lain mulai dari pengembangan teknologi PLTN, pembangunan, hingga operasional.

“Ada sejumlah peralatan yang Indonesia harus impor dan dalam perawatan juga akan melibatkan negara lain,” kata Herman pada diskusi Dinamika Perkembangan PLTN Pasca Kecelakaan Fukushima pada Jumat (11/3).

Herman mencatat, untuk menghasilkan 1 kilowatt (KW) listrik PLTN dibutuhkan investasi US$ 6.000-10.000 (Rp 85-143 juta). Investasi untuk membangun PLTN berkapasitas 3.000 megawatt (MW) setara dengan investasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara 10.000 MW, atau pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) 24.000 MW, atau PLTS atap 40.000 MW.

Menurut catatan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) pada 2019, Indonesia memiliki total sumber daya uranium 81.090 ton dan thorium 140.411 ton. Bahan baku nuklir tersebut tersebar di tiga wilayah, yakni Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

Sumatra memiliki 31.567 ton uranium dan 126.821 ton thorium, Kalimantan 45.731 ton uranium dan 7.028 ton thorium, dan Sulawesi 3.793 ton uranium dan 6.562 ton thorium.

Sebagai gambaran, setidaknya untuk satu PLTN berkapasitas 1.000 MW membutuhkan 21 ton uranium yang dapat memproduksi listrik selama 1,5 tahun. Dari 21 ton uranium tersebut, emisi atau limbah yang dihasilkan hanya sepertiga.

Hendra memaparkan, walau pasokan bahan baku tenaga nuklir di Indonesia melimpah, mereka tidak serta merta bisa digunakan tanpa proses pengolahan sebelum menuju ke PLTN. “PLTN yang 100 KW di Jogja itu suku cadangnya harus dibawa ke Amerika Serikat dulu melalui Cilacap dan itu dikawal,” ujarnya.

Selain mahal, keberadaan PLTN di Indonesia dirasa akan menimbulkan masalah baru. Pasalnya, lokasi pemukiman warga harus berada di dalam radius minimal 16 kilometer dari lokasi PLTN.

Jika PLTN didirikan di pinggir laut, maka 40.000 m2 lahan di sekitar PLTN dilarang untuk menjadi lokasi tempat tinggal dan lokasi usaha maupun pertanian atau perikanan. Sehingga, keberadaan PLTN skala besar di Indonesia akan memberikan rasa tidak aman ke masyarakat dan menambah beban ekonomi kepada pemerintah.

“Punya nuklir di negara yang mayoritas muslim dan pernah terlibat dalam aksi terorisme itu salah satu aspek untuk menambah anggaran di sektor nuclear security, karena beberapa studi menunjukkan bahwa salah satu sasaran terorisme adalah PLTN,” kata dia.

Oleh karena itu, transisi energi di industri dan rumah tangga dari penggunaan bahan bakar fosil akan lebih banyak memanfaatkan sumber tenaga matahari atau energi surya.

Menurut dia, permukaan bumi Indonesia seluas 2 juta hektar mampu menghasilkan 3.000 gigawatt (GW) energi solar yang setara dengan energi 4.500 Terra Watt jam (TWh). Ini jauh lebih tinggi dari optimalisasi tenaga panas bumi, air, dan angin yang hanya menghasilkan 700 TWh.

“Energi terbarukan di Indonesia dapat dipenuhi dengan bertumpu pada energi surya. Tantangannya adalah teknologi untuk bisa menyambungkannya ke power system (sistem kelistrikan) dan biaya storage baterai,” kata Herman.

Jika semua hal tersebut dapat dipenuhi, maka energi surya akan semakin kompetitif dan semakin murah daripada energi konvensional dan PLTN.