Rancangan undang-undang energi baru terbarukan (RUU EBT) yang kini telah berganti nama menjadi RUU energi baru dan energi terbarukan (RUU EBET) mendapat sorotan karena mencampuradukkan energi fosil dan energi terbarukan.
Sejumlah organisasi yang mewakili kelompok masyarakat tertentu menilai beleid ini tak sejalan dengan tujuannya untuk mendorong pemanfaatan energi terbarukan yang berkelanjutan.
Institute for Essential Services Reform (IESR) menyoroti kerancuan rancangan regulasi itu karena mencampuradukkan energi fosil, nuklir, dan energi terbarukan dalam satu undang-undang.
“RUU ini sangat dipengaruhi oleh kepentingan status quo, yaitu industri batu bara dan nuklir yang menyelinap masuk menggunakan definisi energi baru," kata Direktur Eksekutif IESR Fabby Tumiwa pada sebuah diskusi di Jakarta, Kamis (19/5).
Fabby mengatakan sumber energi baru yang merupakan produk hilirisasi batu bara dan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN akan memperbesar potensi aset terbengkalai serta tidak signifikan menekan emisi gas rumah kaca.
Menurutnya, RUU EBT tersebut tidak fokus mengembangkan energi terbarukan yang sebenarnya butuh dorongan politik dan kerangka regulasi yang lebih kuat, sehingga dapat berkembang cepat, mendukung cita-cita transisi energi.
Koordinator Bersihkan Indonesia Ahmad Ashov Birry mendorong DPR RI untuk menyiapkan kebijakan yang secara jelas mendukung energi terbarukan. Simak databoks berikut:
Ashnov menilai RUU EBT yang diklaim mendukung energi terbarukan malah terang-terangan mengaburkan masa depan energi terbarukan dengan memberi jalan bagi energi fosil dan berbahaya lainnya untuk diasosiasikan sebagai energi terbarukan.
"Ini dapat menjadi sinyal yang tak jelas bagi komunitas internasional yang ingin bersolidaritas mendukung Indonesia untuk bertransisi," ujarnya.
Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Paul Butarbutar mengatakan keberadaan RUU EBT seharusnya menjadi dasar hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi bersih.
“RUU ini harusnya fokus ke energi terbarukan, sehingga RUU EBT ini dapat menjadi dasar hukum kuat yang memberikan kepastian hukum untuk memaksimalkan investasi di bidang energi terbarukan sebagai bagian dari transisi energi untuk mencapai net zero emissions secepatnya,” ujarnya.
Dia menyarankan agar semua pasal terkait energi baru dan istilah yang tidak dikenal secara internasional dapat dihapuskan.
Ia juga menambahkan jika pemerintah dan industri PLTN bermaksud untuk mendorong pemanfaatan energi nuklir, maka pemerintah sebaiknya memprioritaskan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
Sedangkan jika terkait transisi energi, maka yang perlu dilakukan adalah merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007.
"Apabila pemerintah ingin mendorong pemanfaatan nuklir untuk pembangkitan, maka sebaiknya pemerintah memprioritaskan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997, sehingga dapat dijadikan sebagai dasar hukum yang kuat untuk investasi PLTN," tambah Paul.