Transisi Energi Terancam Mundur Imbas Perang dan Pandemi Covid-19

ANTARA/Galih Pradipta
Pekerja memeriksa panel listrik tenaga surya di atap Masjid Istiqlal di Jakarta, Kamis, 3 September 2020.
2/6/2022, 15.59 WIB

Ikhtiar menurunkan emisi karbon dan transisi energi yang digaungkan di Persetujuan Paris 2015 dan Perjanjian Glasgow 2021 dinilai makin sulit dilakukan akibat meningkatnya ketergantungan terhadap energi fosil, termasuk di Indonesia.

Deputi Bidang Perencanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi, Indra Darmawan, mengatakan cengkraman energi fosil makin menguat sejak adanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Cina yang kemudian diperparah oleh pandemi Covid-19 dan perang Rusia dan Ukraina.

“Ada semacam aksi yang tertunda karena pandemi Covid-19 dan dua perang yang memunculkan inflasi, krisis energi dan krisis pangan,” kata Indra dalam webminar ESG Outlook in Energy Sector, Towards a Green Sphere, Kamis (2/6).

Selain hal tersebut, transisi energi menemui jalan terjal karena biayanya yang sangat besar. Menurut catatannya, investasi berkelanjutan dengan kriteria dan prinsip kelestarian lingkungan, sosial, dan tata kelola (environmental, social, and governance/ESG) di lima pasar utama di AS, Eropa, Jepang, Kanada, Australia dan Selandia Baru pada awal 2020 telah mencapai US$ 35,3 triliun

“Janji, target dan komitmen itu satu hal. Tapi implementasinya itu adalah hal yang lain. Ratusan negara dan organisasi semua sepakat bahwa jalan ke depan adalah jalan yang tidak mudah,” sambung Indra.

Indra menjelaskan, proyek transisi energi merupakan investasi jangka panjang yang membutuhkan dana awal besar yang manfaatnya baru dapat dirasakan di jauh waktu. Dalam konteks Indonesia, masih ada jarak (gap) sebesar Rp 241 triliun per tahun untuk mendanai mitigasi perubahan iklim.

Idealnya, Indonesia membutuhkan Rp 343,6 triliun per tahun sejak 2020 hingga 2030 untuk menjalankan program mitigasi perubahan iklim. Namun, pemerintah hanya mengalokasikan rata-rata Rp 102,56 triliun per tahun dalam APBN.

Bahkan, anggaran untuk mitigasi perubahan iklim mengalami penurunan dalam setahun terakhir. Menurut Laporan Anggaran Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim tahun 2018 hingga 2020, Pemerintah menganggarkan Rp 97,66 triliun pada 2019 untuk pendanaan. Setahun berselang, angka itu turun menjadi Rp Rp 77,81 triliun.

“Memang ada gap Rp 241 miliar atau hanya 29,9% yang bisa ditanggung oleh negara. Anggaran perubahan iklim di Indonesia itu sangat besar,” ujarnya.

Menurut Indra tantangan yang harus dipecahkan saat ini yakni masih adanya upaya yang terkait dengan proyek teknologi rendah karbon juga memerlukan mineral-meneral yang sangat banyak sehingga harus tetap ditopang dengan proyek pertambangan mineral.

“Misal Untuk pabrik lithium baterai. Ini berpeluang merangkul 200 juta pekerja dan di sisi lain 100 juta pekerjaan akan hilang. Kita harus menyesuaikan diri agar terus relevan di dunia ini,” paparnya.

Perang Rusia dan Ukraina dinilai menghambat transisi energi lantaran meningkatkan permintaan batu bara. Ini lantaran perang menghambat pasokan minyak dan gas, sementara produksi energi terbarukan mengalami penurunan.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu