Pemerintah diminta untuk memasifkan upaya konservasi dan restorasi lahan gambut demi mencegah kebakaran hutan. CoFounder of PT Rimba Raya Conservation Eka Ginting mengatakan lahan gambut yang sebagian besar berisi pelapukan tanaman yang terendam air memiliki kandungan karbon tinggi.
Eka menjelaskan, kondisi ini bisa lebih parah jika lahan gambut dibiarkan mengering tanpa adanya upaya konservasi dan retorasi lahan. Lahan gambut yang mengering akan berubah menjadi mineral batu bara yang akan menjadi bahan bakar apabila terjadi kebakaran hutan.
“Jika gambutnya terbakar praktis susah sekali atau tidak bisa dihentikan dan akan sulit dipadamkan. Seperti kebakaran hutan seluas 2,8 juta hektar pada 2015 itu emisi karbon dioksida mencapai 5 giga ton,” kata Eka dalam Webminar bertajuk Reviving Local Community Through Decarbonization Project in Indonesia pada Jumat (24/6), petang.
Indonesia memiliki lahan gambut seluas 12 juta hingga 15 juta hektar. Mayoritas berada di sepanjang pesisir timur Sumatera, Provinsi Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Menurut Eka, luasan lahan gambut di Indonesia sebenarnya dapat menjadi peluang untuk upaya dekarbonisasi. Namun, mengelola lahan gambut dengan luas belasan hektar membutuhkan pendanaan dan tenaga kerja dalam jumlah besar.
“Perlu perbaikan atas kanal-kanal sehingga tidak terjadi pengeringan itu perlu upaya besar," kata Eka.
Eka mengatakan, upaya restorasi lahan gambut juga harus melibatkan partisipasi komunitas lokal yang nantinya akan menciptakan nilai lebih selain penyerapan emisi gas rumah kaca. Komunitas lokal juga akan mendapatkan benefit langsung apabila mereka dilibatkan dalam proyek restorasi maupun korservasi lahan gambut.
Benefit langsung yang dirasakan yakni adanya penyerapan tenaga kerja dari proyek penanaman pohon secara masif. Selain itu, proses perbaikan dari lahan gambut menjadi hutan akan mendatangkan flora dan fauna yang berpotensi mengembalikan nilai ekonomi dari bekas lahan gambut yang terbakar.
Proyek dekarbonisasi hutan juga dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar berupa tersedianya layakan kesehatan, air bersih dan berkurangnya asap pasca kebakaran “Pengurangan emisi karbon juga merupakan benefit yang diterima masyarakat lokal,” ujar Eka.
Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto mengatakan Indonesia berkomitmen dalam isu perubahan iklim. Adapun komitmen tersebut tergambar pada inisiasi ‘Indonesia FoLU Net-Sink 2030’ yang berisi pencanangan pencapaian penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya.
Penerapan perencanaan operasional Indonesia FoLU Net-Sink 2030 diharapkan dapat menciptakan Suatu kondisi dimana tingkat serapan sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi sektor terkait pada tahun 2030. “Sektor kehutanan dan penggunaan lainnya diproyeksikan akan berkontribusi hampir 60% dari total target penurunan emsisi gas rumah kaca,” kata Agus.
Pengimplementasian komitmen tersebut diperkirakan menelan pendanaan lebih dari Rp 200 triliun dengan porsi kebutuhan terbesar untuk pembangunan hutan tanaman industri sebesar Rp 76 triliun atau hampir 40% dari total kebutuhan pendanaan.
“Ketersedian pendanaan pemerintah ini tentunya tantangan besar, namun KLHK yakin dukungan dari banyak pihak untuk mencapai target penuruan emisi gas rumah kaca dapat terwujud,” kata Agus.