Riset: Porsi EBT Surya dan Angin Hanya 0,2%, RI Diminta Kurangi PLTU

ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/rwa.
Teknisi membersihka panel surya pada instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kampus Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang, Jawa Timur, Kamis (7/7/2022).
7/7/2022, 20.06 WIB

Laporan organisasi think tank energi global EMBER menunjukkan bahwa Indonesia belum memaksimalkan potensi energi baru terbarukan (EBT), khususnya tenaga surya dan angin. Pada 2021 proporsi energi surya dan angin di tanah air hanya 0,2% dari total pembangkitan listrik.

Angka tersebut sangat rendah jika dibandingkan proprosi seluruh ASEAN yang sebesar 4%, dan global yang mencapai 10%. Rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 diperkirakan hanya meningkatkan pangsa energi surya dan angin menjadi 2% pada 2030.

Indonesia berencana menambah 4,68 GW kapasitas tenaga surya dan 0,6 GW tenaga bayu (angin) pada 2030, sebagaimana tercantum dalam Rencana usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2021-2030 yang disebut-sebut sebagai RUPTL “terhijau”.

Pangsa pembangkitan listrik tenaga surya dan angin pada tahun 2030 ini akan menjadi yang terendah di antara ASEAN 5. Di sisi lain, proyeksi laju pertumbuhan permintaan listrik Indonesia adalah salah satu yang tertinggi, sebesar 4,9% per tahun.

Dengan laju seperti ini, hanya 5% dari peningkatan permintaan akan bisa dipenuhi oleh matahari dan angin. Sementara pada 2030, Vietnam akan menghasilkan 18% listrik dari tenaga matahari dan angin secara total, Filipina 16,5%, dan Thailand 9,6%. Malaysia dan Indonesia masing-masing akan mencapai 3,4% dan 2%.

Langkah ini dinilai tidak sejalan dengan jalur menuju emisi nol yang dusung oleh Internasional Energi Agency (IEA). Laporan Net Zero IEA menunjukkan 40% pasokan listrik global harus berasal dari surya dan angin pada tahun 2030.

Rencana pembangunan energi surya dan angin yang lebih ambisius di ASEAN diperlukan untuk menyelaraskan dengan tujuan membatasi kenaikan suhu udara global maksimal 1,5 derajat celsius pada pertengahan abad ini.

Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa di antara 10 negara anggota ASEAN, lima negara diantaranya Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam (ASEAN 5) menyumbang 89% dari total pembangkitan listrik di ASEAN. Oleh karena itu, kontribusi kelima negara ini dirasa penting untuk mewujudkan transisi energi bersih di ASEAN.

Analis Kelistrikan Asia EMBER, Achmed Edianto, mengatakan pemerintah harus memaksimalkan energi matahari dan angin, seperti yang dilakukan oleh Cina, India, dan sebagian besar negara-negara di dunia karena harga bahan bakar fosil melambung tinggi. Sebaliknya energi surya dan angin dapat menyediakan energi lokal yang terjangkau.

“Energi surya dan angin mulai berkembang di seluruh Asia Tenggara, tetapi target yang lebih agresif dan eksekusi yang tepat waktu diperlukan untuk memanfaatkan potensi yang besar. Pemerintah perlu meninjau ulang rencana energi 2030,” kata Achmed pada Kamis (7/6).

Menurutnya, Pemerintah lebih memprioritaskan pengembangan energi panas bumi dan air ketimbang pengembangan energi surya dan angin. Sikap pilih kasih yang ditunjukkan oleh pemerintah didasari karena mahalnya teknologi penciptaan energi listrik dari angin dan matahari.

Adapun kondisi serupa juga terjadi di negeri Jiran Malaysia dan Filipina. "Pengembangan energi surya dan angin harus dinaikkan dan sistem ketenagalistrikkan harus siap menerima penetrasi energi terbarukan yang lebih besar," sambung Achmed.

Achmed pun menyoroti sejumlah persoalan dalam RUPTL PLN 2021-2030 yang disebut-sebut sebagai RUPTL terhijau. Dalam RUPTL tersebut, PLN yang sedang mengalami kondisi over supply menghindari penambahan biaya modal dan biaya opersional.

Sikap PLN yang demikian diterjemahkan sebagai langkah untuk menghindari mengembangkan energi terbarukan. "Jadinya memilih untuk mengubah PLTU yang ada dengan biomassa atau co-firing. Dibanding menambah biaya investasi di energi terbarukan. PLN memilih yang sudah ada (PLTU) yang ada untuk co-firing," ujar Achmed.

Achmed berharap program pemensiunan PLTU dapat lebih cepat tanpa harus menunggu hingga tahun 2040. Pemensiunan PLTU yang dilakukan lebih cepat akan membuka ruang bagi sumber energi angin dan surya.

Adapun sembari menunggu waktu purna, pemerintah dapat mengurangi peran PLTU sebagai komponen utama penjual listrik ke PLN.

"PLTU tidak lagi yang harus terus-menerus berjalan untuk menyuplai energi. Nantinya penjual utama sumber listrik berasal dari sumber energi terbarukan. Hal ini sudah sejak lama dilakukan oleh Inggris dan Jerman. Sekarang ini kondisinya masih menunggu harga baterai lebih murah," tukas Achmed.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu