Indonesia Battery Corporation (IBC) atau PT Industri Baterai Indonesia (IBI) mengatakan masih ada sejumlah kendala dalam pembangunan ekosistem kendaraan listrik di Tanah Air.
Direktur Utama IBC, Toto Nugroho, mengatakan pemerintah masih harus mengimpor dua komoditas tambang bahan baku utama baterai kendaraan listrik berupa lithium dan graphite. Mengutip laporan pemetaan Kementerian ESDM, Toto menjelaskan bahwa material lithium belum ditemukan di Indonesia.
Meski begitu, Toto mengatakan IBC mengupayakan pengembangan teknologi pembuatan baterai tanpa menggunakan lithium. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi bergantung pada bahan baku impor. Selain itu, IBC juga mengkaji kandungan lithium yang terbawa dari sisa-sisa proses produksi listrik di pembangkit panas bumi.
“Kami lakukan riset agar tidak tergantung pada lithium atau kobalt ataupun dari graphite. Dari geothermal ada potensi. Kami kaji dulu karena terkiat jumlah dan produksinya,“ kata Toto dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR pada Senin (12/9).
Guna menyediakan material yang tak terdapat di bumi Indonesia, IBC juga menawarkan opsi untuk mengakuisisi tambang-tambang mineral lithium di luar negeri yang berlokasi di Australia, Amerika Selatan, dan Afrika.
“Harus bersiap-siap untuk mencari kalau memungkinkan. Akuisisi tambang lithium di luar itu mungkin solusi yang paling benar,“ sambungnya.
Toto menyebut kapasitas produksi baterai pada tahun 2024 akan mencapai 10 Giga Watt hour (GWh) yang diprediksi bisa menghasilkan pasokan setrum bagi seratus ribu mobil listrik dan empat juta sepeda motor listrik.
Akan tetapi, realisasi dari proyek tersebut harus memerlukan usaha lebih keras kerena bahan baku untuk pembuatan baterai masih mengandalkan impor, termasuk nikel.
“Kalau lihat sekarang sampai 2024, bahan baku utama harus masih impor karena belum didapatkan dari Indonesia,“ ujarnya. “InsyaAllah di 2030 jadi penguasa teknologi.“
Sebelumya diberitakan, IBC menjalin kerja sama dengan perusahaan asal Cina, Contemporary Amperex Technology (CATL) untuk membangun pabrik baterai kendaraan listrik senilai US$5,97 miliar atau Rp 85,77 triliun. Selain CATL, IBC juga menggandeng perusahaan baterai asal Korea Selatan, LG Energy Solutions (LGS).
Toto mengatakan bahwa saat ini pemerintah melalui IBC dan PT Aneka Tambang (ANTAM) sudah masuk dalam tahap diskusi lebih lanjut dengan perusahaan asal Negeri Gingseng tersebut. “Saat ini juga LGS ini dari Korea Selatan. Antam dan IBC bermitra dengan CATL dan LGS,” kata Toto dalam Mining Zone, Rabu (11/5).
CATL dan LG Solutions merupakan dua perusahaan beterai kendaraan listrik terbesar di dunia. Pada 2021 CATL mampu mencatatkan penjualan sebesar US$ 7 miliar atau sekitar Rp 101,7 triliun.
“CATL menguasai 80% pasar kendaraan listrik di Cina. Dari 3 pasar besar di Eropa, Cina, dan Amerika, CATL penguasaan pasar mereka nomor 1 di dunia dari aspek produksi dan market share di Cina. Sementara LG ini terbesar nomor dua di dunia,” sambungnya.
Selain diperuntukkan untuk kendaraan listrik, produksi baterai juga akan difungsikan sebagai penyimpanan energi untuk PLN. “Untuk menyerap dari energi terbarukan sekitar 3 GWH. dan sisanya diekspor ke tiga pasar utama di Eropa, Amerika Serikat dan Cina,“ ujar Toto.