Kementerian ESDM menaksir pembiayaan transisi energi untuk mencapai target dekarbonisasi net zero emission 2060 dapat mencapai US$ 1 triliun atau Rp 15,3 kuadriliun dengan kurs Rp 15.300 per dolar. Namun beberapa negara maju seperti Jepang, Inggris, dan Jerman siap membantu pendanaan, konsep, hingga teknologi.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM, Rida Mulyana, mengatakan transisi energi di Indonesia masih terkendala sejumlah faktor utama seperti pendanaan, teknologi dan keterampilan sumber daya manusia atau SDM.
"Persoalannya sangat klasik, Net Zero Emission (NZE) 2060 untuk pendanaan US$ 1 triliun berdasarkan asumsi yang disusun tahun 2021," kata Ridha saat menjadi pembicara dalam Indonesia Sustainable Energy Week (ISEW) 2022 pada Senin (10/10).
Dia menambahkan, upaya transisi energi di Indonesia harus dilakukan melalui pendanaan investor dari lembaga keuangan dan filantropi, termasuk bantuan dari negara maju.
Pemerintah juga telah mengesahkan regulasi seperti Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) untuk Penyediaan Tenaga Listrik. "Pemerintah telah menyediakan regulasi yang tegas dan jelas, tidak ambigu dan tidak berubah dalam waktu dekat," ujarnya.
Selain menyediakan instrumen kemudahan investasi energi baru dan terbarukan (EBT), pemerintah telah meningkakan target penurunan emisi karbon menjadi 31,89 persen di tahun 2030 melalui enhanced National Determined Contribution (NDC).
Langkah ini diharap bisa menarik minat investor untuk menanambkan modalnya di Indonesia. "Disusul dengan program pensiun dini PLTU dan regulasi bisnis yang memudahkan perizina diharap bisa menyedot investasi di dalam dan luar negeri," imbuh Ridha.
Komitmen Jerman, Inggris, dan Jepang
Perwakilan Kedutaan Republik Federal Jerman, Thomas Graf, mengatakan pihaknya bersedia menjadi mitra Indonesia dalam proyek nol emisi 2060. Menurutnya, program transisi energi merupakan kerja global yang harus dilakukan secara menyeluruh dan bertahap.
"Indonesia dan Jerman merupakan mitra lama, kerja sama sudah ada € 2 miliar. Ini menakjubkan. Perubahan iklim hanya bisa diatasi atau diperlambat melalui kerja global, tidak ada pihak manapun yang bisa secara mandiri," kata Graf.
Graf juga mengatakan Pemerintah Jerman bersedia memberikan bantuan pendanaan bagi proyek transisi energi di Indonesia melalui mekanisme energy transition mechanism (ETM). Graf pun mengaku pihaknya sudah menurunkan tim untuk proses kerja sama tersebut.
"Kami mendukung pendanaan dan kami ada tim di Jakarta, bisa melalui ETM. Mereka duduk bersama perwakilan pemerintah," ujarnya.
ETM adalah pendekatan transformatif dengan cara pembiayaan gabungan yang berupaya mempercepat waktu penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada, kemudian menggantikannya dengan kapasitas pembangkitan listrik yang bersih.
Mekanisme ini terdiri atas dua pembiayaan: pembiayaan pertama dikhususkan untuk penutupan lebih dini atau pengalihan fungsi pembangkit listrik tenaga batu bara dengan jadwal yang dipercepat. Pembiayaan kedua berfokus pada investasi pada pembangkitan, penyimpanan, dan peningkatan jaringan listrik untuk energi bersih yang baru.
Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Owen Jenkins, mengatakan Pemerintah Indonesia harus memperkuat regulasi yang menjamin kemudahan keterlibatan swasta dalam upaya transisi energi. Jenkis menilai, kemudahan investasi untuk menghadirkan teknologi pendukung nol emisi bisa mempercepat upaya transisi energi di Tanah Air.
"Yang paling penting adalah dukungan dan regulasi dari pemeritah. Artinya, konsep itu harus diperkuat dengan regulasi dan aturan agar para investor dan donor-donor internasional mau menggelontorkan dana. Kami bersedia menyalurkan bantuan dalam bentuk konsep, teknologi maupun pelatihan delegasi-delegasi," ujar Jenkins.
Di forum yang sama, Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Kenji Kanasugi, mengatakan kondisi yang dialami Indonesia sama dengan Jepang saat ini. Sebagai sesama negara kepulauan, proyek transisi energi Jepang membutuhkan biaya yang lebih besar untuk menghubungkan transmisi dari satu daerah ke daerah seberang.
"Kami juga masih dalam tahap percobaan dan masih banyak produk Jepang yang dihasilkan dari energi batu bara. Tapi kami kurangi dengan penggunaan amonia, biomassa, dan nuklir. Ada panel surya juga, tapi ini bergantung pada perubahan iklim. Kalau iklim baik, panel surya akan baik," ucapnya.
Senada dengan Pemerintah Jerman dan Inggris, Pemerintah Jepang juga bersedia untuk memberikan bantuan ke Indonesia untuk proyek transisi energi.
Kenji mengaku bahwa pihaknya telah memperkuat kesepakatan ekonomi dengan Pemerintah Indonesia. "Di dalam perjanjian tersebut, kami bersedia memberikan dana secara privat," kata Kanasugi.
Direktur Asian Development Bank (ADB) untuk Indonesia, Jiro Tominaga, mengatakan beberapa negara berkembang masih kesulitan dalam memperoleh pendanaan transisi energi. Dia berharap lembaga keuangan dan institusi internasional bisa lebih berperan dalam menyalurkan bantuan finansial terhadap negara dunia ketiga.
"Peran negara maju sangat penting untuk dilibatkan dalam pendanaan ini. Mereka bisa duduk bersama sembari membicarakan peluang pajak karbon dan ekosistem pendanaan energi terbarukan," kata dia.
"Perubahan iklim harus segera diatasi. Kita memang tidak akan terdampak, tapi yang tersampak adalah generasi yang akan datang," tutur Tominaga menambahkan.
Laporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan Monitoring, Pelaporan, Verifikasi yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021 menunjukkan Indonesia menghasilkan emisi gas rumah kaca sekitar 1,86 miliar ton karbon dioksida ekuivalen (CO2e) pada tahun 2019.
Menurut laporan tersebut, pada tahun 2019 emisi gas rumah kaca nasional paling banyak berasal dari sektor energi, yakni 638,8 juta ton CO2e.
Emisi terbesar berikutnya berasal dari pemanfaatan hutan dan lahan lainnya (forestry and other land use/FOLU) serta kebakaran gambut masing-masing 468, 4 juta ton dan 456,4 juta ton.
Ada pula emisi dari limbah sejumlah 134,1 juta ton, sektor pertanian 108,6 juta tonserta proses industri dan konsumsi produk sebesar 60,2 juta ton. Secara kumulatif, emisi gas rumah kaca nasional pada tahun 2019 sudah jauh meningkat dibanding tahun 2010, yang ketika itu jumlahnya hanya 809,9 juta ton CO2e.