Terganjal Aturan, Kalangan Pengusaha Keluhkan Sulitnya Transisi Energi

SUN Energy
Ilustrasi penggunaan PLTS atap.
19/10/2022, 15.22 WIB

Sejumlah asosiasi pengusaha menyampaikan beberapa keluhan serta aduan dari para anggotanya yang tengah berupaya untuk melakukan transisi energi. Mayoritas keluhan yang diajukan paling banyak menyoroti peraturan dan permodalan.

Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Aphonzuz Widjaja, mengatakan dirinya kerap mendapat keluhan dari para anggota soal ketidaksesuaian peraturan yang belum mendukung pemanfaatan energi bersih di pusat perbelanjaan.

Aphonzuz menjelaskan, saat sebuah pusat perbelanjaan menggunakan genset gas yang disuplai dari PGN untuk listrik. PLN bakal mengenakan tarif premium yang lebih tinggi karena dianggap menggunakan sumber listrik lain.

Padahal, listrik dari gas dianggap menghasilkan emisi yang lebih rendah dibandingkan listrik PLN yang mayoritas diproduksi dari pembangkit listrik batu bara.

"Ini dilema, karena kalau gasnya tidak digunakan, PGN juga mengenakan penggunaan minimum, jadi serba salah. Saat kami gunakan gasnya untuk menghindari biaya minimum dari PGN, secara bersamaan PLN menerapkan tarif premium," kata Aphonzuz dalam Cut the Tosh Collaboration Summit di Thamrin Nine Ballroom Jakarta, Rabu (19/10).

Selain itu, APPBI juga menyoroti aturan Peraturan Menteri ESDM Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Bangunan Dalam Kawasan Terbatas. Aphonzuz menceritakan, saat para pengelola mengadakan pasokan listrik dari panel surya, pengelola tidak diperkenankan menaikan tagihan listrik kepada penyewa.

Padahal, ujar Aphonzuz, para pengelola musti mengeluarkan investasi lebih untuk pengadaan listrik dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap.

"Pengelola tidak boleh memungut tagihan listrik dari penyewa di situ lebih besar dari apa yang dibayarkan ke PLN karena yang dibayar ke PLN jadi lebih sedikit kan. Ini jadi masalah juga," tutur Aphonzuz.

Dia berharap, pemerintah bisa memberi kemudahan kepada asosiasi dalam bentuk insentif pajak maupun fiskal untuk mendorong transformasi penggunaan listrik yang bersumber pada energi bersih.

Meski dimikian, Aphonzuz mengakui bahwa sejumlah lembaga keuangan makin ringan tangan untuk memberikan pinjaman untuk para pengelola pusat perbelanjaan yang menggunakan energi non-fosil. "Perbaikan sudah cukup baik, banyak juga bank yang memberikan pinajamn dan modal dengan syarat green building," ujar Aphonzuz.

Wakil Ketua Umum Bidang Energi Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Sherlina Kawilarang, mengaku tantangan yang perlu dihadapi oleh asosiasi adalah memperkuat kepedulian anggota terhadap penggunaan energi bersih.

"Anggota kami banyak yang belum tahu green energy apa yang tersedia di Indonesia dan bagaimana cara bergeser untuk memakai green energy," ujar Sherlina.

Lebih lanjut, ketetapan yang simpang siur mengenai regulasi juga menimbulkan keraguan bagi sebagian kecil anggota asosiasi yang sudah peduli kepada pemanfaatan. Salah satunya yakni larangan untuk menggunakan PLTS atap 100% dari kapasitas listrik yang terpasang.

Saat ini, PLN membatasi penggunaan seterum surya di 15% dari total kapasitas listrik yang terpasang "Mereka ragu-ragu untuk pakai energi bersih karena peraturan dari pemerintah yang saling bertabrakan dan simpang siur, kami harap aturan itu dibuat jadi sederhana dan jelas," ujar Sherlina.

Senada dengan Sherlina, Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Organisasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Ratih Kusumastuti, mengatakan pihaknya tengah intens melaksanakan sosialisasi kepada para anggota. Pasalnya, mayoritas dari anggota GAPMMI merupakan pelaku UMKM.

"Di dalam operasinya kami tentu menghasilkan baik di dalam operasi produksi, dalam mata rantai pasok dan juga distribusi sampai produk diterima konsumen, sehingga GAPMMI akan sosisalisasi dan edukasi kepada anggota karena didominasi oleh pengusaha menengah kecil dan mikro," ujar Ratih.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu