Ormas Sipil Kritik Kebijakan Transisi Energi dalam RUU EBET

ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi/tom.
Dua pekerja mengumpulkan serbuk kayu untuk dijadikan sebagai substitusi bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Desa Sintung, Kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah, NTB, Selasa (31/1/2023).
6/2/2023, 18.09 WIB

Organisasi masyarakat sipil mengkritik kebijakan transisi energi pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET).

Juru Kampanye Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian mengatakan RUU EBET memuat klasifikasi soal ‘energi baru’ yang berasal dari energi fosil. Ini misalnya teknologi gasifikasi batu bara dan batu bara cair. Selain itu, ada juga energi nuklir yang juga dikatergorikan sebagai energi baru.

Beyrra mengatakan energi baru dari turunan batu bara dan nuklir bukan sumber energi yang patut didorong. Selain berisiko tinggi terhadap lingkungan, ia menyebut sumber energi tersebut juga membebani negara.

Selain mengkritik soal produk turunan batu bara, Beyrra juga menyoroti soal potensi deforestasi terkait penggunaan biomassa yang akan dipakai sebagai co-firing PLTU. 

“Pembahasan tentang energi baru dan beberapa jenis energi terbarukan menjadi tidak relevan dalam RUU EBET ini. Pemerintah dan DPR seharusnya fokus pada substansi energi terbarukan yang mendukung penurunan emisi karbon, bukan sebaliknya,” kata Beyrra, dalam keterangan resmi, Senin (6/2).

Manajer Program Transformasi Energi Institute for Essential Services Reform (IESR), Deon Arinaldo mengatakan masuknya energi baru justru akan membuat Indonesia terjebak dengan infrastruktur energi fosil. 

Halaman: