Sejumlah pakar menilai pembentukan holding panas bumi yang menaungi tiga BUMN, PLN Gas, Pertamina Geothermal Energy, dan Geo Dipa Energi, untuk optimalisasi pengembangan energi panas bumi nasional belum mendesak. Namun holding dapat menghindari adanya persaingan ketiga BUMN tersebut pada bisnis panas bumi.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, menyampaikan bahwa konsolidasi tiga perusahaan BUMN itu dimungkinkan terjadi meski masing-masing perusahaan memiliki basis bisnis yang berlainan.
Lebih lanjut, kata Fahmy, meski Pertamina lebih banyak terjun kepada bisnis ekplorasi migas, perusahaan migas pelat merah itu juga dinilai punya potensi untuk menjalankan bisnis geothermal. Alasannya, model eksploitasi energi panas bumi hampir serupa dengan proses pengangkutan migas dari perut bumi.
"Holding ini berkaitan dengan pembangkit listrik. Saya rasa dengan penyatuan ini pemanfaatan panas bumi sebagai sumber listrik PLN bisa lebih efisien dan menutup potensi terjadinya persaingan antar BUMN," kata Fahmy kepada Katadata.co.id, Kamis (30/3).
Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga, menyampaikan bahwa merger BUMN panas bumi saat ini belum mendesak dan ketiga BUMN tersebut lebih baik berjalan secara masing-masing sambil dilakukan kajian mendalam sebelum membentuk holding.
"Bagaimana masing-masing perusahaan bisa lebih mengembangkan bisnis panas buminya. Namun untuk kedepannya, kami setuju mengenai adanya konsolidasi agar geothermal ini bisa lebih berkembang," kata Daymas.
Dia menambahkan agar pemerintah memperketat aturan mengenai kepastian investasi di sektor pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) lewat penyaluran beragam insentif, mengingat bisnis tersebut merupakan bisnis resiko tinggi.
"Apalagi panas bumi merupakan salah satu sumber energi terbarukan yang handal dengan potensi kapasitas besar yang Indonesia miliki saat ini," ujar Daymas.
Sebelumnya, Kementerian ESDM menyampaikan bahwa rencana konsolidasi holding panas bumi belum mencapai titik temu. Direktur Panas Bumi Harris Yahya mengatakan, tiga perusahaan BUMN itu masih berhitung soal potensi manfaat yang diperoleh usai melakukan konsolidasi.
Sebagai perusahaan yang telah berdiri sejak 2002, Geo Dipa telah memiliki memiliki fasilitas produksi setrum panas bumi dari hulu ke hilir. Sementara operasional PGE masih terbatas pada infastuktur hulu dan PLN yang hanya bermain di hilir atau sektor pembangkit listrik.
“Merger itu ada perhitungan masing-masing. Di situ mungkin belum mencapai titik temu, sehingga ini belum berjalan. Geo Dipa juga belum sempat bicara lebih lanjut,” kata Harris saat ditemui di Sekretariat Ikatan Alumni ITB Jakarta Selatan, Rabu (29/3).
Harris pun menyampaikan bahwa rencana konsolidasi tersebut akan diusahakan berjalan sebelum PGE melakukan penawaran saham perdana ke publik atau initial public offering (IPO) pada Februari lalu. “Dulu memang diharapkan merger sebelum PGE IPO, merger-nya belum jadi tapi sekarang PGE sudah IPO,” ujar Harris.