PT Pupuk Indonesia tengah mengupayakan pasokan gas bumi untuk mendukung proyek pengembangan amonia biru. Gas bumi merupakan bahan baku utama produksi amonia biru yang emisi karbonnya ditangkap melalui teknologi carbon capture and storage (CCS).
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia, Achmad Bakir Pasaman, menyampaikan, keberlangsungan proyek pengembangan amonia biru bergantung pada ketersediaan gas yang tersuplai secara konsisten minimal selama kurun waktu 15 tahun.
"Kami perlu gas supaya investasinya jalan, estimasi 15 tahun dalam jumlah yang tetap," kata Bakir saat ditemui selepas agenda Pupuk Indonesia Clean Ammonia Forum (PICAF) 2023 di Menara Danareksa, Jakarta, pada Kamis (30/3).
Saat ini Pupuk Indonesia telah mendapatkan alokasi gas murah melalui kebijakan harga gas bumi tertentu (HGBT) namun hanya untuk produksi pupuk. Kendati demikian, Bakir optimistis pihaknya bisa memeroleh jaminan suplai gas untuk keberlanjutan proyek pengembangan amonia biru.
Sikap optimistis itu muncul seiring keberhasilan Pupuk Indonesia untuk menggandeng mitra potensial seperti Mitsui, Mithshubishi, dan Inpex. "Setelah studi kelayakannya oke, kemudian harus lihat pasokan gasnya. Sejauh ini belum ada alokasi untuk amonia biru," ujar Bakir.
Adapun saat ini bahwa pupuk pelat merah tersebut telah menjajaki studi kelayakan dengan sejumlah perusahaan global untuk pengembangan proyek pengembangan amonia biru.
Adapun proyek amonia biru Pupuk Indonesia berada di empat lokasi berbeda, satu diantaranya terletak di Arun Lhokseumawe, Aceh. Proyek ini telah menjalin mitra potensial domestik seperti Energi Mega Persada-Gebang, PGN, dan perusahaan manufaktur asal Jepang, Mitusi.
Rencana proyek amonia biru selanjutnya terletak di Jawa Barat dengan skema kemitraan bersama PT Pertamina dan Mitshubishi Corporation. Kemitraan yang sama juga terjalin di rencana pengembangan proyek amonia biru di Sumatera Selatan.
Pupuk Indonesia juga akan bermitra dengan Inpex di proyek pengembangan amonia biru di Lapangan Gas Abadi di Pulau Yamdena, Kepulauan Tanimbar, Maluku. Meski begitu, Bakir belum mau terbuka soal hitungan besaran investasi untuk mendirikan sebuah pabrik amonia biru.
Dia menjelaskan, pabrik amnonia biru hampir serupa dengan model kerja pabrik amonia abu-abu yang kerap dimanfaatkan sebagai bahan baku produksi pupuk urea. Salah saut bahan baku pupuk urea terbuat dari unsur karbon dioksida yang terkandung di dalam gas bumi.
Perbedaan mencolok dari dua pabrik tersebut terletak pada beban penambahan fasilitas CCS pada pabrik amonia biru yang berdampak pada meningkatnya modal investasi. Sebagai gambaran, pabrik pupuk urea berkapasitas 2.000 metrik ton per hari membutuhkan pendanaan sebesar US$ 600 juta.
"US$ 600 juta itu belum termasuk CCS untuk injeksi karbon dioksida ke perut bumi, dan kami belum bisa sebut angkanya," kata Bakir.