Riset: Porsi EBT Sukses Salip Batu Bara dalam Bauran Energi Global

ANTARA/Galih Pradipta
Pekerja memeriksa panel listrik tenaga surya di atap Masjid Istiqlal di Jakarta, Kamis, 3 September 2020.
Penulis: Happy Fajrian
12/4/2023, 14.50 WIB

Lembaga think tank global, EMBER, mencatat porsi energi baru terbarukan atau EBT global pada akhir 2022 naik menjadi 39%, menyalip batu bara yang sebesar 36%. Hal ini terutama didorong oleh pertumbuhan tenaga surya dan angin hingga porsinya mencapai 12% dari total pasokan listrik dunia, naik dari 10% pada 2021.

“Kita berada di dekade penentuan untuk masa depan iklim, dan ini adalah titik awal berakhirnya era bahan bakar fosil. Kita sedang menuju era energi bersih,” kata Małgorzata Wiatros-Motyka, penulis laporan EMBER Global Electricity Review 2023, dalam keterangan tertulis, Rabu (12/4).

Mengacu pada laporan tersebut, pembangkit listrik tenaga surya tumbuh hingga 24% atau setara penambahan 245 terawatt hour (TWh) pada 2022. Sementara tenaga angin naik 17% atau 312 TWh. Kenaikan kapasitas pembangkitan listrik surya dan angin tersebut mampu memenuhi 80% permintaan listrik global.

Kenaikan pembangkit EBT tersebut juga membatasi pertumbuhan tenaga batu bara menjadi hanya 1,1% atau setara 108 TWh. Di sisi lain, pembangkit berbahan bakar gas turun tipis 0,2% atau 12,3 TWh.

Laporan ini juga menunjukkan bahwa tahun lalu bisa jadi merupakan puncak emisi ketenagalistrikan dan tahun terakhir pertumbuhan listrik yang ditenagai bahan bakar fosil. Pada 2023, energi bersih diperkirakan akan memenuhi semua peningkatan permintaan listrik.

Dengan demikian, pembangkit listrik berbahan bakar fosil akan menurun sedikit (-0,3%) pada 2023, dan terus menurun pada tahun-tahun berikutnya seiring meningkatnya tenaga angin dan surya.

“Tenaga angin dan surya sudah siap untuk terus berkembang pesat menjadi sumber listrik yang terbesar. Listrik bersih akan membentuk ulang perekonomian global, dari sektor transportasi, industri, dan seterusnya,” ujar Wiatros-Motyka.

Era baru penurunan emisi bahan bakar fosil menunjukkan bahwa penghentian pembangkit listrik batu bara akan terjadi, dan berakhirnya listrik berbasis gas sudah di depan mata. Perubahan datang dengan cepat. “Namun, semuanya tergantung pada langkah yang diambil oleh pemerintah, bisnis, dan masyarakat hari ini untuk mengarahkan dunia ke listrik bersih pada 2040,” tambahnya.

Mengacu model yang disusun International Energy Agency (IEA), sektor listrik harus bergeser dari sektor penghasil emisi tertinggi menjadi sektor yang pertama mencapai netral karbon pada 2040, untuk mencapai ekonomi netral karbon pada 2050. Hal ini berarti angin dan surya harus mencapai 41% dari total listrik global pada 2030.

Indonesia Tertinggal

Sementara itu, Laporan EMBER menunjukkan, porsi tenaga angin dan surya di Indonesia masing-masing hanya 0,1% pada 2021. Padahal, tercatat sudah ada 60 negara yang 10% dari total pembangkit listriknya ditenagai angin dan surya.

Pertumbuhan tenaga surya Indonesia pada 2021 mencapai 12%, namun angka ini hanya setara 0,02 TWh lantaran rendahnya pembangkit energi surya. Sementara tenaga angin justru turun 6,4% atau 0,03 TWh. Pada saat yang sama, pembangkit listrik dari batu bara di Indonesia naik 5% (9,1 TWh) dan gas 9,7% (5 TWh).

Wiatros-Motyka menuturkan, meski kemajuan perkembangan EBT di Indonesia lambat dalam beberapa tahun terakhir, dukungan internasional menyediakan pembiayaan yang dibutuhkan untuk mengakselerasi adopsi EBT dan menghentikan pembangkit listrik berbasis batu bara di Indonesia.

Beberapa di antaranya, yakni Asian Development Bank Energy Transition Mechanism dan Just Energy Transition Partnership. “Dengan bantuan tersebut, sudah saatnya Indonesia menunjukkan komitmen dan mengambil langkah-langkah untuk mencapai puncak emisi tahun 2030 dan mewujudkan ambisi energi terbarukan,” tuturnya.

Chief Executive Officer Landscape Indonesia, Agus Sari, mengungkapkan bahwa sistem ketenagalistrikan berbasis bahan bakar fosil sedang menghadapi risiko penelantaran aset besar-besaran.

“Energi bersih jauh lebih murah dan lebih stabil. Dengan krisis iklim saat ini, maka transisi energi adalah keniscayaan. Mereka yang tidak ikut bertransisi akan semakin tertinggal,” ujarnya.

Analisis EMBER menunjukkan, komitmen JETP yang membatasi emisi sektor kelistrikan pada 290 juta ton CO2 konsisten dengan Announced Pledge Scenario yang disusun IEA dan sesuai dengan target pemerintah mencapai netral emisi karbon di semua sektor pada 2060. Namun, batasan tersebut masih di bawah jalur netral karbon yang lebih ambisius dari IEA.