Aktivis iklim dan masyarakat sipil mengkritik kebijakan transisi energi negara-negara G7 yang saat ini sedang menggelar pertemuan di Hiroshima Jepang.

Sejumlah aktivis melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta dengan mengenakan seragam sekolah Negeri Sakura. "Negara-negara G7 sudah seharusnya menyetop solusi palsu transisi energi dalam skema pendanaan transisi energi," kata Sisila Nurmala Dewi, Team Lead 350 Indonesia yang ikut berunjuk rasa.

Sisil mengatakan saat ini pendanaan transisi energi seperti JETP dan AZEC sudah tersedia. namun, harus dipastikan pembiayaan tersebut digunakan untuk solusi transisi energi yang bersih dan adil.

Novita Indri Juru Kampanye Trend Asia menilai komitmen negara-negara G7 untuk transisi energi masih lemah. Ini terlihat dari pernyataan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida yang giat mempromosikan teknologi co-firing amonia dan hidrogen, untuk membenarkan penggunaan berkelanjutan pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas setelah tahun 2030.

"Laporan terbaru menunjukkan bahwa anggota G7 masih mengucurkan pendanaan untuk energi fosil sebanyak US$ 73 Miliar untuk periode 2020 dan 2022," katanya,.

Novita mengatakan pendanaan energi fosil ini 2,6 kali lebih banyak dibandingkan untuk energi terbarukan yang hanya mencapai US$ 28,6 miliar di periode yang sama.

Novita mencontohkan Kementerian ESDM mengusulkan agar pembangkit listrik berbahan LNG dipakai untuk menggantikan pembangkit dari diesel didanai oleh JETP. Ia menyebut usulan ini harus ditolak oleh negara-negara G7 yang menjadi pemberi pendanaan JETP.

"Memberi nafas panjang pada energi fosil seperti usulan Kementerian ESDM untuk gasifikasi, co-firing, amonia atau hidrogen, artinya transisi energi menemui kegagalan,” kata Novita

Selain menghentikan solusi palsu transisi energi, negara-negara G7 juga dituntut memperbesar komposisi hibah daripada utang dalam skema pendanaan transisi energi di Indonesia.

“Saat ini untuk membayar utang luar negeri dari negara maju dan lembaga keuangan internasional, pemerintah Indonesia masih bergantung pada corak produksi ekstraktif, itu artinya kerusakan lingkungan dan pelepasan emisi karbon skala besar masih akan terus terjadi,” ungkap Abdul Ghofar, Juru Kampanye Walhi Nasional.

Reporter: Rezza Aji Pratama