PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan strategi untuk menyambut transisi energi dan mengubah model bisnisnya ke bisnis yang lebih ramah lingkungan. Hal ini dengan diversifikasi produk ke energi terbarukan seperti panas bumi hingga revamping kilang untuk memproduksi BBM hijau.
Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini mengatakan bahwa transisi energi ini adalah perjalanan yang panjang lantaran Pertamina juga harus menjaga energy security dan affordability, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat yang mayoritas masih mengonsumsi BBM.
"Kalau hanya bergantung terhadap energi fosil pasti tinggal tunggu sunset. Karena itu sejak 2020 bahkan sebelumnya, kami sudah menyiapkan bagaimana akselerasi transisi energi hijau," ujarnya dalam Indonesia Data and Economic Conference Katadata 2023 di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, Kamis (20/7).
Dua strategi utama Pertamina untuk transisi energi yaitu pertama, diversifikasi produk dengan memproduksi BBM yang lebih ramah lingkungan. Kedua, mengembangkan bisnis yang berbasis energi terbarukan termasuk mengonversi penggunaan energi di wilayah operasional perusahaan.
"Kilang-kilang kami akan memproduksi BBM yang sifatnya green, seperti greenfuel, biodiesel, nanti ada green avtur. Kedepan inovasi-inovasi produk yang sifatnya lebih greener energy akan kami lakukan," kata Emma.
Dalam hal ini Pertamina melalui anak usahanya Kilang Pertamina Internasional, telah berkomitmen untuk mengembangkan beberapa kilang saat ini menjadi kilang hijau. Dua diantaranya, Kilang Cilacap, Jawa Tengah dan Kilang Plaju, Sumatera Selatan.
Sejauh ini Kilang Cilacap mampu mengolah bahan baku campuran BBM dari minyak kelapa sawit atau refined bleached deodorized palm oil (RBDPO). Ke depan, Pertamina berencana meningkatkan kemampuan kilang untuk mengolah minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) menjadi biofuels dan HVO.
HVO merupakan diesel terbarukan yang diproduksi melalui proses hidrogenasi dan hydocracking dengan menggunakan hidrogen. Produk utama dari HVO dapat disebut sebagai green diesel atau D100.
Rencana Pertamina paling dekat saat ini adalah mengembangkan Green Refinery Cilacap fase dua untuk meningkatkan kapasitas pengolahan menjadi 6.000 bph dengan varian feedstock lebih luas dan mampu mengolah minyak jelantah
Pertamina menargetkan Green Refinery Cilacap fase dua dapat beroperasi pada 2026 untuk meningkatkan kualitas produk dan menurunkan emisi gas buang. Kemudian kapasitas pengolahan Kilang Plaju juga akan ditingkatkan menjadi 20.000 bph hingga mampu memproduksi Pertamina RD, Bioavtur, dan BioNaphta pada 2027.
Adapun untuk pengembangan bisnis yang berbasis energi terbarukan dilakukan melalui sub holding Pertamina Power New & Renewable Energy (NRE) yang fokus mengembangan pembangkit listrik tenaga surya, wind turbine. Kemudian Pertamina Geothermal terus meningkatkan kapasitas pembangkit listrik panas bumi.
Kedua, Pertamina juga sudah masuk ke segmen bisnis hijau melalui su holding korporasi. Perusahaan membangun bisnis yang fokus pada eksplorasi energi terbaruk misalnya panel surya, geothermal hingga green avtur.
"Kami melakukan konversi energi dari yang tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan, yang kedua membangun bisnis yang berfokus pada renewable baik panas bumi, surya, wind turbine, segala macam akan kami eksplore," ujar Emma.
Dia juga menambahkan bahwa saat ini kapasitas terpasang pembangkit listrik panas bumi Pertamina telah mencapai 670 megawatt dana akan terus ditingkatkan. Konsumsi energi di wilayah operasional perusahaan juga diganti dengan energi terbarukan.
Seperti di Blok Rokan yang dikelola oleh Pertamina Hulu Rokan, yang telah terpasang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas 25-75 MW untuk menggantikan konsumsi energi yang selama ini bersumber dari LPG (liquefied petroleum gas).
Emma menegaskan bahwa semua langkah-langkah ini merupakan upaya Pertamina untuk menjaga keberlanjutan pertumbuhan bisnisnya.