PT PLN Energi Primer Indonesia alias PLN EPI melaporkan realisasi distribusi biomassa untuk co-firing pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) mencapai 450.223 ton sepanjang paruh pertama 2023.
Direktur Utama PLN EPI, Iwan Agung Firstantara, menjelaskan teknologi co-firing yang diterapkan di PLTU menjadi cara efektif untuk menekan emisi karbon. Apalagi, penggunaan biomassa dapat mengurangi porsi penggunaan batu bara sebagai bahan bakar pembangkit secara bertahap.
"Pengembangan biomassa menjadi sangat penting dalam mencapai target pengurangan emisi,” kata Iwan dalam siaran pers pada Senin (31/7).
PLN EPI menjamin kepastian pasokan biomassa ke PLTU melalui pengembangan hutan energi dan kerja sama dengan Pemerintah Daerah atau Pemda untuk mengelola sampah kota menjadi bahan bakar jumputan padat (BBJP).
"Lewat kepastian pasokan, maka kebutuhan biomassa semakin terjamin. Mengingat kebutuhan atas biomassa akan selalu tumbuh dari tahun ke tahun," ujar Iwan.
PLN Grup membutuhkan pasokan biomassa untuk co-firing sebanyak 1,08 juta ton hingga Desember 2023. Realisasi pemenuhan biomassa dari Januari terus tumbuh, berada di rata-rata angka 65.000 ton per bulan
Pada Mei kemarin, pemenuhan biomassa mencapai 82.000 ton. Angka ini naik menjadi 105.386 ton pada Juni. Saat ini, 42 PLTU PLN Grup telah menggunakan teknologi co-firing dan akan terus ditingkatkan hingga 52 PLTU.
Iwan mengatakan, penggunaan biomassa melalui teknologi co-firing di PLTU mampu menurunkan emisi karbon hingga 429.000 ton CO2. Adapun PLN menargetkan dekarbonisasi dari co-firing sebesar 954.000 ton CO2 hingga 2025 mendatang.
"Kami terus menjaga komitmen rantai pasok energi primer yang andal, dengan menjaga kualitas bahan baku yang optimal serta terus mengedepankan upaya efisiensi rantai pasok," ujar Iwan.
DMO Biomassa untuk Co-firing PLTU
PLN juga meminta adanya regulasi khusus berupa pengenaan kewajiban penjualan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) untuk penyaluran biomassa sebagai campuran atau co-firing PLTU milik PLN.
Alasannya, mayoritas produsen biomassa domestik lebih memilih menjual hasil produk mereka ke pasar ekspor karena tawaran harga yang lebih menguntungkan.
Sekretaris Perusahaan PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Mamit Setiawan menjelaskan saat ini biomassa untuk pembangkit listrik dibatasi dengan harga patokan tertinggi atau HPT. Saat ini HPT batu bara untuk PLN senilai US$ 70 per ton dengan nilai kalori 6.300 kcal per kilogram (kg).
Angka tersebut dapat berubah tipis seiring tingkat kandungan kalori biomassa yang disetarakan dengan kandungan kalori batu bara. Adapun, batas atas harga batu bara kalori rendah 4.300 sampai 4.600 kcal per kilogram dipatok US$ 51 per ton.
Mekanisme penetapan DMO pada co-firing PLTU ini meniru ketentuan yang lebih dulu diterapkan kepada pengadaan batu bara untuk PLN dan industri.
Lewat instrumen Keputusan Menteri ESDM Nomor 139 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan pelaku usaha batu bara domestik untuk memenuhi kuota penjualan dalam negeri 25% dari produksi tahunan untuk kelistrikan umum dan industri.
"Karena harga pasar ekspor jauh lebih bagus dari pada harga dalam negeri, dengan dukungan serapan dalam negeri, tidak harus 25%, diharapkan bisa menutupi target co-firing PLN," mamit saat menjadi pembicara di Media Gathering Kementerian ESDM di Courtyard Marriott Bandung pada Sabtu (20/5).
Mamit menjelaskan, pengenaan DMO pada suplai co-firing PLTU dapat berkontribusi pada penurunan konsumsi batu bara di PLTU PLN. Adapun serapan konsumsi biomassa untuk co-firing PLTU berada di angka 220.000 ton sepanjang kuartal I 2023.
Jumlah itu setara 20% dari kebutuhan biomassa untuk 34 PLTU batu bara sebanyak 1,08 juta ton pada tahun ini. "Tanpa ada dukungan dari pemerintah, maka cukup besar effort PLN," ujar Mamit.
Penggunaan biomassa sebagai campuran bahan bakar PLTU batu bara dinilai belum optimal seiring ketersediaan bahan baku yang terbatas. Pasokan biomassa sejauh ini umumnya masih berasal dari produk sampingan. Menurut Mamit, bahan baku biomassa idealnya berasal dari hasil hutan utama seperti pohon Kaliandra, Gamal, dan Jati Putih.
Lewat mekanisme DMO, perseroan berharap bisa memperoleh jaminan penyediaan biomassa di sektor hulu, hingga pengaturan PLN sebagai pembeli atas seluruh bahan baku atau offtaker di sisi hilir.
Produsen biomassa melihat harga yang tinggi di pasar luar negeri membuat mayoritas pelaku usaha lebih tertarik mengekspor produknya, ketimbang menjualnya kepada PLN sebagai campuran batu bara PLTU.