IESR mendorong pemerintah Indonesia mengusung pembahasan mengenai rantai pasok energi surya dalam pertemuan ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM) yang akan digelar dalam waktu dekat.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan sebagai Ketua ASEAN tahun ini, Indonesia perlu meningkatkan pertumbuhan energi terbarukan, terutama energi surya. Beberapa negara ASEAN saat ini sudah mengembangkan manufaktur panel surya tetapi masih terbatas di sel dan modulnya. 

“Kami harapkan pada AMEM, Indonesia bisa mengusulkan Indonesia menjadi pusat manufaktur PLTS mulai dari teknologi polisilikon hingga modul surya,” katanya, Selasa (15/8).

Fabby mengatakan saat ini pengembangan manufaktur panel surya belum terintegrasi. Padahal Indonesia memiliki bahan baku untuk pembuatan komponen PLTS, seperti pasir silika. Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia dapat merekomendasikan integrasi manufaktur PLTS sebagai kesepakatan bersama untuk membangun rantai pasok bersama.

Fabby mengatakan ancaman iklim semakin serius bagi negara-negara ASEAN yang berdampak luas terhadap ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kemajuan pembangunan di kawasan. Jika tidak ada upaya serius untuk mengurangi emisi global, maka dampak perubahan iklim akan membuat pertumbuhan ekonomi melebihi 6% di kawasan Asia Tenggara akan semakin berat.

Berlianto Pandapotan Hasudungan, Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN, Kementerian Luar Negeri RI mengakui selain tantangan geopolitik, krisis Myanmar, krisis iklim juga menjadi tantangan tambahan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di ASEAN. Ia memaparkan ketahanan energi melalui transisi energi ke energi terbarukan dan mengurangi ketergantungan pada minyak bumi menjadi agenda penting dalam kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

“Selain pengembangan kendaraan listrik, ASEAN sedang mengembangan interkoneksi energi antar negara anggota dan akan dimulai juga studi atas interkoneksi energi di kawasan,” jelasnya.

Sementara itu, Shahnaz Nur Firdausi, Peneliti Iklim dan Energi IESR memaparkan, kebijakan dan komitmen iklim Indonesia tidak konsisten dengan Persetujuan Paris yang ingin menjaga batas suhu 1,5°C. Laporan Climate Action Tracker (CAT) menilai target dan kebijakan iklim Indonesia secara keseluruhan masih kategori sangat tak mencukupi (highly insufficient). Apabila semua negara mengikuti pendekatan kebijakan Indonesia, maka pemanasan global akan lebih dari 2°C hingga 3°C.

“Untuk itu, kebijakan dan tindakan iklim Indonesia pada tahun 2030 membutuhkan perbaikan substansial agar konsisten dengan batas suhu 1,5°C,” katanya.

Manajer Program Clean, Affordable and Secure Energy (CASE) for Southeast Asia, Agus Tampubolon dalam kalimat penutup kembali menyatakan pentingnya kerjasama antar negara anggota ASEAN untuk mengakselerasi transisi energi.

“Indonesia bisa memimpin transisi energi di ASEAN dengan leading by example. Negara-negara anggota ASEAN memiliki potensi besar, kita bisa bekerja sama untuk rantai pasok, contohnya adalah pengembangan PLTS,” katanya.

Reporter: Rezza Aji Pratama