Target bauran energi baru dan terbarukan atau EBT sebesar 23% dalam energi primer nasional pada 2025 sulit tercapai. Presiden Jokowi diminta melakukan akselerasi untuk mencapai target EBT tersebut.
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), porsi EBT hingga pertengahan 2023 masih berada di angka 12,3%. Sepanjang 2022, pertumbuhan bauran EBT di energi primer hanya naik 0,1%.
Sehingga, dibutuhkan sekitar 12 gigawatt (GW) pemanfaatan EBT pada sektor energi primer untuk mengejar target 23% dalam waktu dua tahun.
"Rasanya sulit untuk mencapai 12 GW dalam waktu sampai akhir 2025,” ujar Executive Director Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa kepada Katadata.co.id, Jumat (18/8).
Meski begitu, Fabby menyarankan pemerintah tak perlu mengubah atau merevisi target. Perubahan target diperkirakan akan sukar dan berlangsung lama.
Target EBT itu ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Peraturan Presiden (Perpres) No.22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
“Jadi jalan terbaik adalah susun rencana akselerasi dan optimalkan yang bisa dilakukan,” ujar Fabby.
Pemerintah dapat mengakselerasi peningkatan EBT dengan penambahan kapasitas energi terbarukan di sistem PLN maupun non-PLN atau yang bukan termasuk PLN. Selain itu, juga bisa dilakukan upaya dengan penggunaan bahan bakar nabati pada bahan bakar cair, serta pemanfaatan limbah biomassa untuk substitusi gas/LPG.
“Masih ada waktu 2,5 tahun lagi untuk mengejar target tersebut, tapi perlu ada perintah dari Presiden untuk melakukan upaya-upaya tersebut,” kata dia.
Menurut Fabby, target EBT nasional sebesar 23% pada 2025 juga bisa dicapai asalkan dengan mengoptimalkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap. JIka hal tersebut direalisasikan, dia memprediksi dalam dua tahun EBT bisa bertumbuh secara signifikan,
“Estimasi saya, potensi PLTS atap bisa tumbuh 2 sampai dengan 3 GW dalam 2 tahun mendatang, asalkan jangan dihambat,” ujarnya.
Dewan Energi Nasional alias DEN pun sebelumnya memproyeksikan target EBT sebesar 23% dalam energi primer nasional pada 2025 sulit tercapai.
"Sudah terlambat untuk mengejar target 23% pada 2025. Mohon maaf, mungkin perlu cari orang pintar yang bisa menyulap pakai ilmu luar biasa," kata anggota DEN Herman Darnel Ibrahim dalam diskusi bertajuk 'Bagaimana strategi Indonesia mencapai target bauran 23% energi terbarukan pada tahun 2025?' pada Kamis (27/7).
Herman memberikan opsi lanjutan untuk mempertahankan tingkat pemanfaatan EBT agar lebih tinggi dari pertumbuhan pemanfaatan energi fosil. Satu di antaranya yakni mendesak PLN untuk menaati amanat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 26 Tahun 2021 tentang PLTS Atap.
Regulasi itu mengatur kapasitas instalasi PLTS atap paling tinggi 100% dari total daya listrik pelanggan rumah tangga maupun industri. Dia menilai aturan tersebut dapat meningkatkan bauran EBT di energi primer nasional.
Namun, pelaksanaan regulasi tersebut mandek seiring sikap PLN yang enggan menjalankan amanat tersebut. Saat ini, regulasi tersebut kini sedang masuk tahap revisi.
ESDM Diminta Gunakan Regulasi yang Dorong PLTS Atap
Saat ini Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yang masih dalam tahap harmonisasi. Herman mengusulkan PLN dan ESDM diminta menggunakan regulasi yang mengatur kapasitas instalasi PLTS atap paling tinggi 65% dari total daya listrik pelanggan rumah tangga maupun industri.
"Supaya PLTS atap ini berjalan, kalau tidak berjalan malah bisa menurunkan persentase EBT karena demand bertambah tapi listrik yang masuk dari pembangkit fosil," ujar Herman.
Pada 31 Agustus 2022, konsorsium dari tiga perusahaan yaitu Electric Power Development Co., Ltd. (J-Power), PT Adaro Power, dan ITOCHU Corporation resmi mengoperasikan proyek PLTU Batang di Jawa Tengah. PLTU dengan kapasitas 2 x 1.000 MW ini menelan investasi US$ 4,2 Miliar.
Lebih lanjut, Herman menilai peningkatan bauran EBT lewat Instalasi PLTS Atap lebih efisien karena hanya membutuhkan atap sebagai media pemasangan. Tidak perlu membuka lahan tambahan seperti pengembangan pembangkit listrik panas bumi (PLTP) maupun pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Namun, pemerintah belum optimal dalam memasifkan pemasangan PLTS atap. ESDM melaporkan realisasi pemasangan PLTS pada 2022 hanya 207,3 megawatt (MW) atau 23,2% dari target tahunan sebesar 893 MW. Selain itu, pemerintah juga menurunkan target instalasi listrik PLTS menjadi 430 MW dari target tahun sebelumnya sejumlah 893 MW.
Alasan pemerintah dan PLN membatasi penggunaan PLTS Atap karena bakal merugikan PLN. Kementerian ESDM menghitung potensi pengurangan pendapatan PLN mencapai 2,1% per tahun jika instalasi PLTS atap mencapai target pemasangan 3,61 GW pada 2025. Nilai itu sekitar Rp 9,5 triliun bila menghitung dari pendapatan PLN pada 2022 besar Rp 455 triliun.
"Gambarannya yaitu dari pengurangan penggunaan energi listrik PLN oleh pelanggan PLTS atap dikali tarif listrik per kWh dalam kurun waktu 1 tahun," kata Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Dadan Kusdiana, melalui pesan singkat pada Selasa (21/3).