Pemerintah tengah mempertimbangkan relaksasi aturan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 untuk mempermudah pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
Relaksasi aturan ini akan mempermudah impor panel surya karena harganya lebih terjangkau. Rencana ini menjadi salah satu rekomendasi kebijakan yang akan masuk dalam dokumen Investasi Komprehensif dan Rencana Kebijakan (CIPP) terkait dana investasi transisi energi Just Energy Transition Partnership (JETP).
Deputi Kepala Sekretariat JETP, Paul Butarbutar membenarkan terkait adanya rekomendasi relaksasi aturan tersebut. Dia mengatakan, tujuannya agar pengadaan panel surya di dalam negeri menjadi lebih terjangkau namun juga berkualitas bagus.
"Relaksasi ini supaya boleh impor. Sekarang kan sebetulnya boleh impor, tapi kalau dalam hitungan TKDN-nya itu terlalu banyak impor, hitungan TKDN-nya tidak masuk, jadinya kena denda dan dendanya kemahalan," ujarnya ditemui di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (23/8)
Untuk diketahui, Sekretariat JETP telah menyelesaikan dokumen CIPP dan menyerahkannya ke pemerintah pada 16 Agustus lalu. Dokumen rencana investasi dan kebijakan itu selanjutnya akan didiskusikan antara pemerintah dan International Partners Group (IPG).
Mengutip Bloomberg, dalam dokumen CIPP yang sudah disusun Sekretariat JETP tersebut salah satunya merekomendasikan relaksasi aturan TKDN untuk panel surya. Penghapusan syarat TKDN ini rencananya akan dihapus sampai 2025, atau saat pabrik panel surya pertama di Indonesia mulai berproduksi.
Untuk diketahui, sejumlah negara maju yang tergabung dalam IPG bersama lembaga keuangan internasional telah berjanji menanamkan investasi sekitar US$ 20 miliar atau sekitar Rp 310 triliun, untuk mendukung transisi energi di dalam negeri. Janji investasi itu dikenal sebagai proyek JETP.
Untuk merealisasikan rencana itu, maka Indonesia dan IPG akan merumuskan CIPP. Dokumen CIPP inilah yang sampai saat ini masih dibicarakan antara pemerintah dan IPG setelah dokumennya diserahkan oleh Sekretariat JETP pada 16 Agustus 2023. Paul optimistis dokumen itu akan selesai tahun ini.
Dokumen itu nantinya berisi berbagai kesepakatan mengenai rencana pembiayaan hingga rekomendasi kebijakan. Seperti diketahui, dari total janji investasi hingga US$ 20 miliar, hanya sebagian kecil diantaranya yang berupa hibah.