Investasi JETP Ditunda karena Belum Perhitungkan PLTU Industri

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Cerobong asap raksasa dari tujuh pembangkit listrik tenaga batu bara menjulang di atas desa Suralaya, Banten, Kamis (30/8). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menyampaikan kombinasi aktivitas sektor industri, transportasi hingga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Banten dan Jawa Barat menjadi penyebab buruknya kualitas udara di DKI Jakarta.
20/9/2023, 07.15 WIB

Investasi Just Energy Transition Partnership (JETP)  tertunda karena pemerintah perlu memperhitungkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang dibangun secara mandiri oleh industri dan berada di luar sistem jaringan PLN atau captive power plant. Rencana investasi JETP yang sebelumnya ditargetkan Agustus dimundurkan menjadi akhir 2023.

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, mengatakan siasat pemerintah untuk mengajukan revisi target emisi yang tertulis dalam pernyataan bersama JETP merupakan langkah aktual untuk merealisasikan pendanaan transisi energi senilai US$ 20 miliar atau setara Rp 310 triliun.

Menurut dia, dana US$ 20 miliar saat ini tidak cukup untuk memenuhi syarat puncak emisi dari sektor pembangkit listrik yang dipatok maksimal 290 juta ton karbon dioksida (CO2) pada 2030. Hal itu dipicu oleh menjamurnya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang dibangun secara mandiri oleh industri dan berada di luar sistem jaringan PLN atau captive power plant.

“Memang perlu ada peninjauan ulang karena emisi tidak hanya dari PLTU di sistem PLN, tapi juga harus memperhitungkan pertumbuhan dari captive power plant,” ujar Fabby saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (19/9).

Fabby mengatakan, syarat angka 290 juta ton pada 2030 itu dinilai terlalu tinggi dan terbilang ambisius. Hal itu mengingat Indonesia menghitung angka emisi puncak dengan skema bisnis umumnya atau business as usual mencapai 357 juta ton CO2 pada tahun yang sama.

Fabby Tumiwa, mengatakan hitung-hitungan kesepakatan target maksimal keluaran emisi ketenalistrikan 290 juta ton pada 2030 antara Pemerintah Indonesia dengan negara donor JETP belum memperhitungkan pertumbuhan captive power plant dalam dua tahun belakangan. Sebagai informasi, donor  JETP berasal dari Amerika Serikat (AS), Jepang, serta beberapa negara G7 plus Denmark, Norwegia, dan Uni Eropa 

IESR yang juga menjadi bagian dari kelompok kerja (Pokja) Teknis Sekretariat JETP bersama International Energy Agency (IEA), Rocky Mountain Institute (RMI), Bank Dunia, dan PLN menghitung kebutuhan Indonesia untuk mengejar target maksimal keluaran emisi ketenalistrikan 290 juta ton pada 2030 menembus US$ 100 miliar. Angka tersebut lebih tinggi dari komitmen dana iklim JETP senilai US$ 20 miliar.

“Kebutuhan di rencana investasi (CIPP) JETP itu diidentifikasikan kebutuhannya US$ 100 miliar, kalau hanya US$ 20 miliar itu jauh. Tapi memang tujuan pendanaan JETP untuk katalis, jadi untuk memobilisasi pendanaan lain,” ujar Fabby.

Fabby memproyeksikan puncak emisi ketenagalistrikan yang dipatok maksimal 290 juta ton CO2 pada 2030 merupakan hasil kajian dari International Energy Agency (IEA) dengan basis data tahun 2021.

“Saat itu memang sudah menghitung adanya emisi dari captive power plant, tapi kan hanya yang terdaftar saat itu sementara pertumbuhan dalam dua tahun terakhir cenderung tinggi,” kata dia.

Fabby mengatakan saat ini pemerintah berupaya untuk berdialog dengan pelaku industri maupun pemilik wilayah usaha yang mengadopsi captive power plant. Perundingan itu diharap bisa mengubah pemanfaatan pembangkit listrik fosil menjadi pembangkit ramah lingkungan seperti pembangkit listrik gas maupun pembangkit listrik energi terbarukan.

“Pemilik captive power plant ini harus dilibatkan dalam proses penurunan target emisi ini,” ujar Fabby.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berupaya mengajukan revisi target emisi yang tertulis dalam joint statement terkait komitmen pendanaan transisi energi melalui kemitraan JETP. Pemerintah akan bernegosiasi dengan angka yang lebih moderat kepada negara donor JETP yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS) dan Jepang.

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan syarat target maksimal keluaran emisi ketenalistrikan 290 juta ton belum memperhitungkan pertumbuhan pembangkit listrik energi fosil yang dibangun secara mandiri oleh industri atau captive power plant yang dipicu oleh kegiatan hilirisasi mineral tambang.

Pengajuan revisi target emisi tersebut belakangan menyebabkan penerbitan rencana investasi dan kebijakan atau comprehensive investment and policy plan (CIPP) pendanaan JETP tertunda. Penerbitan CIPP semula ditargetkan pada 16 Agustus 2023.

"Sudah tertunda sebulan, dan saat kami sedang mendesain dan membahas beberapa isu terkait dengan pembangkit captive karena pertumbuhannya cepat," kata Dadan di JS Luwansa Jakarta pada Jumat (15/7).

.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu