Cina Tolak Phasing Out Bahan Bakar Fosil: Ancam Keamanan Energi Dunia

Caixing Global
Reaktor nuklir di Haiyang, Cina.
Penulis: Happy Fajrian
25/9/2023, 13.39 WIB

Cina menilai upaya untuk phasing out atau menghentikan secara bertahap penggunaan bahan bakar fosil tidak realistis karena akan mengancam keamanan energi dunia.

“Penghentian penggunaan bahan bakar fosil secara total tidak realistis. Bahan bakar fosil harus terus memainkan peran penting dalam menjaga keamanan energi dunia,” kata pejabat iklim Cina, Xie Zhenhua pada sebuah forum seperti dikutip dari Reuters pada Senin (25/9).

Dunia berada di bawah tekanan untuk membuat janji yang lebih ambisius untuk mengatasi pemanasan global. Cina merupakan negara pengonsumsi bahan bakar fosil, terutama minyak dan batu bara, terbesar di dunia.

PBB menyatakan dunia harus mengurangi emisi karbon sebesar 20 gigaton di atas target yang telah ditetapkan sebelumnya, untuk mencegah kenaikan suhu lebih dari 1,5° Celsius pada pertengahan abad ini.

Tambahan target penurunan emisi karbon ini akan menjadi fokus diskusi pada pertemuan iklim COP28 di Dubai pada November mendatang. Para campaigner berharap dapat tercapai suatu kesepakatan atau kemauan politik untuk menetapkan target yang jelas untuk mengakhiri konsumsi minyak dan batu bara.

Namun Xie mengatakan bahwa sifat intermitensi energi baru terbarukan dan belum matangnya teknologi seperti penyimpanan energi berarti dunia harus terus bergantung pada bahan bakar fosil untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. “Tidak realistis untuk sepenuhnya menghapuskan bahan bakar fosil,” kata wakil Cina pada COP28 ini.

Pada konferensi iklim di Glasgow Skotlandia pada 2021, Cina memimpin upaya untuk mengubah bahasa perjanjian dari phasing out atau “penghentian bertahap”, menjadi phasing down atau “penurunan bartahap” bahan bakar fosil. Cina juga mendukung teknologi penurunan emisi seperti penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).

Meskipun penghentian penggunaan bahan bakar fosil tidak akan dibahas pada COP28, Xie mengatakan Cina akan terbuka untuk menetapkan target energi terbarukan global asalkan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang berbeda-beda di berbagai negara.

Dia juga mengatakan bahwa dia menyambut baik janji yang dibuat oleh Amerika Serikat (AS) bahwa dana tahunan sebesar US$ 100 miliar untuk membantu negara-negara berkembang beradaptasi terhadap perubahan iklim akan segera tersedia, meski menurutnya dana tersebut sangat kecil.

Cina dan AS, dua negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, memulai kembali perundingan iklim tingkat tinggi pada bulan Juli setelah jeda yang diakibatkan oleh kunjungan politisi AS Nancy Pelosi ke Taiwan yang diklaim oleh Cina.

Cina telah menolak upaya AS untuk memperlakukan perubahan iklim sebagai “oasis” diplomatik yang dapat dipisahkan dari ketegangan geopolitik yang lebih luas antara kedua belah pihak, dan sanksi perdagangan AS terhadap panel surya buatan Cina masih menjadi isu yang menyakitkan.

Xie mengatakan proteksionisme dapat menaikkan harga panel surya sebesar 20-25% dan menghambat transisi energi, serta meminta negara-negara untuk tidak “mempolitisasi” kerja sama dalam energi baru.

Dia juga menegaskan kembali penentangan Cina terhadap Mekanisme Penyesuaian Perbatasan Karbon Uni Eropa, yang akan mengenakan tarif karbon pada impor dari Cina dan negara lain.